Jumat, 26 Desember 2014

Kopi Senja di Ujung Tangga

Masih sunyi, saat sang Guru menyapa pagiku, Tuhan, indah sekali kadomu hari ini.

Terimakasih Tuhan, ENGKAU Maha Tahu, hari ini aku tak menginginkan kemeriahan pesta di dinding-dinding waktu, sunyi memang, namun dengan cara-Mu yang sangat indah kau memberikan sebuah hadiah yang sangat bermakna. 

Belum selesai syukur pertamaku, kecupan pagi dan ucapan penuh cinta dari anak-anakku segera terbungkus rapi menjadi kado kedua di hari ini. Syukurku.

Semua mengalir begitu saja, dalam sunyi yang membahagiakan. Dan akhirnya akupun tak menduga, bila kado ketiga dari TUHAN masih ada. 

Kado ketiga terangkai dari ujung tangga, tatkala aneka cerita terangkai membingkai kisah-kisah kehidupan. Kerinduan yang terbungkus rapi tak terungkapkan. Cukuplah kata-kata dan cerita dibahasakan dengan penuh keanggunan rasa. Sembari menikmati secangkir kopi luwak tanpa gula ditemani seiris mandarin cake sebagai penanda peringatan hari istimewa. Karena keindahan rasa, bukanlah pada sebuah kemeriahan pesta, namun lebih dalam bermakna manakala dilahirkan dari sebuah ketulusan, tanpa keinginan. Karena semua semata kasih dan cinta. 

Berjeda sejenak, saat kumandang adzan bergema. Dan Tuhanpun memberikan keindahan berikutnya, waktu untuk menghadap pada-NYA. Basah air wudhu membasahi hingga ke dalam jiwa, aku siap menyatu dalam takbir, sujud dan serangkai do'a-do'a yang kuaminkan di dalamnya. Aku mendengar lagi, basmallah itu terucap darinya. Tuhan, indah sekali kado dari-MU hari ini

Hari ini, biarlah bijaksana, damai dan penuh cinta menjadi bagian dari jiwa, yang terus bertumbuh, subur dan berbuah manisnya kehidupan. 

Minggu, 14 Desember 2014

Pulau Ketujuh (1)

Menjelang senja, Garuda type bombardir dengan nomer penerbangan GA sekian sekian mendarat mulus di landasan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar. Pulau yang sebelumnya hanya aku dengar melalui mass media dan dari kenalan orang-orang Bugis. 

Gambaran pulau yang panas dan gersang seketika sirna. Nampaknya baru saja turun hujan, dan hamparan tanah yang kulihat lumayan hijau, tak banyak rumah penduduk yang terlihat dari atas tadi, setidaknya rumah-rumah tak sepadat di Bali, Yogya, Surabaya apalagi Jakarta. 

Dari dalam mobil jemputan, terlihat pepohonan di sekitar Bandara yang terpelihara dengan baik, sejuk. Sambil mengobrol dengan teman-teman dari Makassar, kami menuju ke hotel tempat saya menginap. Sengaja, saya meminta untuk stay di hotel di sekitar Pantai Losari. Rasanya saya sudah sangat merindukan alam. Karena tinggal di kota metropolitan sebesar Surabaya cukup untuk membuat saya merasa agak kehilangan akan keindahan hutan, danau, gunung dan pantai serta laut yang sebelumnya menjadi bagian rutinitas setiap weekend di Bali. 

Losari, pantai yang membentang disepanjang bibir kota Makassar, ternyata juga berbeda dari bayangan. Harapan bertemu pasir pantai dan lidah lidah ombak tak bisa ditemui disini, pantainya ditembok beton dan sepanjang pantai tak ada ombak menari. Namun setidaknya, ada lautan yang menghampar, saya bersyukur karena tak harus menginap di hotel yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan. 
Bagi saya, alam jauh lebih memberikan keindahan yang tak berbalut kepalsuan. Alam memberikan cinta dan keindahan yang tak terbeli oleh lembar-lembar rupiah.

Menghabiskan waktu tiga hari di kota Makassar terasa sangat singkat, jadwal mengajar full time sehingga hanya senja pertama itulah yang sempat meredakan kerinduan akan alam. Namun itu tak mengurangi rasa syukur karena akhirnya Sulawesi menjadi pulau ketujuh yang pernah saya singgahi dalam hidup saya. Dan keindahan Indonesia terekam erat di setiap pulau-pulau yang pernah saya singgahi. Indah, hijau, biru, ramah tamah..

Terimakasih Makassar dan semua jiwa yang ada disana, salam cinta untuk kalian semua.. 




Jumat, 13 Juni 2014

Bulan Penuh di atas Pulau Bali

Gurat kelelahan terlihat begitu ketara, mempertegas garis garis usia. Hanya beberapa bulan dari saat terakhir kali kami bertemu namun wajahnya terlihat semakin tirus, berpikir terlalu keras, bekerja sepanjang waktu. Dia berusaha menutupi semua lelahnya dan berjuang melawan kantuknya untuk sebuah pertemuan. Hampir aku mengirimkan kekhawatiran, hingga dia mampu menghentikannya, "I'm okay, don't worry." Ya, bukan kekhawatiranku yang dia butuhkan, namun do'a dan segala harapan baik.
Beradu kata hingga dini hari hampir menjelang. Aku berusaha memahami alur pemikirannya dan tak berusaha mengintervensi. Akhirnya aku mampu memahami, kami berpijak pada kaki masing masing, hidup dalam dunia kami masing masing, menjalani takdir masing masing. Meskipun aku juga tahu ada yang menyatukan kami, entah apa, sesuatu yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Aku menerima, apapun yang diberikan kehidupan ini kepadaku, semua sudah sempurna bagiku, meskipun terkadang tak sempurna di mata manusia lainnya. 

Seperti kehidupan, selalu berawal dan berakhir, ada pertemuan ada perpisahan. Namun yang terpenting adalah kesadaran memahami bahwa semua hanyalah perjalanan yang harus dilewati, dan menyelesaikan urusan sepanjang perjalanan ini dengan sebaik baik perilaku. Ada rasa haru ketika sampai pada pemahaman itu, semua terasa tenteram dan damai, kubiarkan semua terjadi dan mengalir, semua nampak indah dimataku, dan syukur ini mengindahkan hidupku. Keindahan hidup yang sempurna, sesempurna bulatnya purnama penuh yang menerangi sepanjang malam yang kami lewati. 

Hingga sampailah pada pagi, ketika dia beranjak untuk pulang, aku hanya mengatakan, aku pasti merindukannya. Hanya rindu yang terbingkai indah, kubiarkan tetap pada tempatnya, karena kerinduan adalah warna yang menyempurnakan keindahan pertemuan.


"I'll miss you so much," 
"mee too" 

Selasa, 27 Mei 2014

Menyelami Rasa

Kemarin, aku menuliskan tentang sebuah kerinduan yang dalam hingga konon katanya tulisanku itu benar benar memendarkan rasa rindu kepada yang membacanya. Mungkin memori jiwaku masih menyimpan serpih serpih kerinduan itu, meskipun aku tak tahu dengan pasti siapakah yang aku rindukan sebenarnya. . Ah.

Semalam, aku memimpikan seseorang datang, dengan segala upaya dia berlari menujuku, sebuah pertemuan yang perih, yang tidak mengobati rasa rindu namun menambahkan dengan berjuta kerinduan lagi. Beruntung hanya mimpi dan aku masih mampu terbangun.

Pagi ini, secangkir kopi hitam, tanpa gula seperti biasa, kunikmati selagi masih mengepulkan asap, nikmat. Tanpa hidangan lain, hanya kopi, namun aku bahagia masih mampu menikmatinya. Sambil duduk, pandanganku menyapu gugusan langit yang mulai membiru, pekat malam sudah terusir oleh terbitnya mentari pagi. Aku menikmati perubahannya, dari semburat merah jambu, kuning keemasan hingga akhirnya membiru. Aku menyapamu dalam diamku.

"kapan kamu kesini?" 
"aku kesana, tapi jadwalku padat sekali, rasanya kita tak mungkin bertemu," 
Inilah mimpiku semalam. Aku segera beranjak mundur dari percakapan, 
"aku pamit dulu, aku harus melepaskan rasa ini, keterikatan, kerinduan dan kekecewan," 
"tunggu, kenapa harus kecewa, kau bilang dinikmati saja, just let it flow," 
"Ya, begitulah rasa, rawan sekali tercampuri oleh ego. Harus dipilah, dilepaskan dari ego, sehingga aku bisa kembali merasakan kerinduan yang indah, tanpa tuntutan untuk ini dan itu." 
"aku terlalu sibuk" 
"tak apa, aku harusnya lebih mengerti, itulah tugasmu," 
Ringan, namun dalam. 

Segera kuselami rasaku yang terdalam, melepas satu persatu belenggu, keterikatan, ego, dan segala tuntutan yang membuat penderitaan. Membebaskan jiwaku dengan kesadaran bahwa aku memang memiliki semua kerinduan itu, namun dengan membebaskan dia ada di dalam sana tanpa perlu menuntutnya untuk menjadi sebuah pertemuan adalah sebuah kedamaian tersendiri. Semua hanyalah tentang rasa, aku bebas mengolahnya untuk menjadi bahagia atau menjadi derita. 

Terimakasih Tuhan dan terimakasih kepada guru kehidupanku yang telah mengajarkan tentang berbahagia
Dengan penuh cinta kupersembahkan untuk semua..

Kamis, 13 Maret 2014

Let Come and Let Go

Begitulah hidup, diwarnai dengan pertemuan dan perpisahan. Masih terasa ketika kemarin  begitu dekat dan riuh rendah saling menyapa, dan tiba-tiba menghilang pergi dan hanya menghadirkan sepi. Memahami hidup berarti memahami bahwa tak pernah ada yang abadi di dunia ini. 

Memahami sepi, memahami sebuah perpisahan dan pertemuan, menikmati setiap detik yang diberikan oleh kehidupan dengan penuh penerimaan, memahami bahwa manusia benar-benar hanyalah pelaku kehidupan bukanlah pencipta kehidupan ini, akan membawa kita pada satu titik ketenangan dan kedamaian. 

Semua hadir dengan tujuan, dengan pemahaman akan hakikat kehidupan maka semua hanya perlu diterima dengan biasa saja. Adalah indah ketika ada yang diajak bercengkerama dan membagi rasa setiap saat, namun adalah indah pula ketika semua pergi dan tinggalah kita sendiri, karena disitulah kita bisa terdiam, hening, mendengarkan dan mensyukuri setiap helaan nafas, berbahagia atas setiap degupan jantung. Karena sesungguhnya dalam sendiri dan sunyi itulah saatnya kita memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dan mengenal diri kita sendiri. Tak jarang dalam diam pula kita akan mampu menangkap ilham melalui mata hati.

Seorang Guru mengatakan, ketika kita mampu melepaskan diri dari dualitas dalam kehidupan, disitulah kita menemukan kesejatian. Mari rayakan semua dengan bahagia, karena dari pertemuanlah maka ada perpisahan, dan dari perpisahanlah maka akan ada pertemuan yang lain. Sikapi apapun yang hadir dalam kehidupan ini dengan penuh penerimaan, maka damai pun akan bersemayam.

Terimakasih kepada yang telah datang, dan terimakasih kepada yang pergi, biarlah cinta terus menyertai kita semua apa adanya kita. Salamku. 

Sabtu, 08 Maret 2014

Mengeja Dirimu

Hingga penghujung hari telah usai, dan berganti dengan lembar hari selanjutnya aku masih memunguti keping keping peristiwa yang memuat segala gambarmu. Tak ada lelah yang menghampiriku, aku terlalu berbahagia. 

Saat itu kau ada di depan mataku, hanya berjarak sehasta namun aku tak melihatmu. Kabut peristiwa menutup semua pengingatan akanmu. Aku tak peduli walaupun setiapkali tanganmulah yang menghapus airmataku, aku tak peduli walau hatimu penuh menampung segala keluh kesahku. Aku tak peduli segala sapaan hangatmu. Aku tak peduli padamu . Aku tak peduli rasamu. Aku menepiskan semua tentangmu. Aku tak cukup mengenalmu. Saat itu, aku tak mampu mengeja rasamu. 

Butuh ribuan hari untuk mendapat sebuah pemahaman, bahwa dirimu layak atas segala rasa indah ini. Dan ketika pemahaman itu menghampiri, akupun berhenti berlari. Mengeja dirimu dan membaca segala tentangmu, hingga aku melebur diri ini menjadi lautan, meluas dan terus meluas, hingga mampu kugapai rasamu. Menyatu dalam rentang jarak dan waktu. Menyelesaikan segala yang tertunda meski tanpa bersua. 

Kini keping-keping peristiwa itu telah menjadi utuh. Kubingkai dengan pemahaman. Dan kupajang dalam dinding hati. Setiap kali aku tersenyum ketika menatapnya. Saat ini, jarak yang membentangpun tak mampu membuat jeda atas rasa ini. Aku ada untukmu. 

Deventer, East Netherland, 8th March 2014, 6.45pm

Jumat, 07 Maret 2014

Semata Mata Cinta Semata

Bukan, bukan karena aku ingin memilikimu, maka aku mencintaimu. Bukan itu. 

Ketika cinta memanggilmu, kaupun tak pernah tahu betapa yang keras akan menjadi luluh, yang lelah menjadi bergairah, yang abu-abu menjadi merah jambu. Tak mudah memang untuk percaya begitu saja, namun kau bisa saja merasakannya ketika waktunya tiba. Saat itu kau tak bisa menghindarinya, sayap cinta mengepak begitu cepat, meluncurkan busur-busurnya, dan menancapkan jauh ke dalam kalbumu. Terkadang, seakan tanpa alasan, namun itulah kenyataan yang harus kau selesaikan.

Dan kenyataan itu adalah saat sebuah peristiwa yang tergambar jelas dalam satu pengingatan jiwa. Meskipun aku tak pernah tahu kapankah itu terjadi. Sudahkah? atau akankah? Entah. Yang pasti disana aku melihatmu bersujud dan berserah sepenuhnya, menghamparkan tubuhmu serendah bumi, penghormatan tertinggi pada Sang Pencipta. Khusyuk dalam tengadah tanganmu memanjatkan do'a-do'a penuh cinta. Di depanku. 
Di belakangmu adalah aku, mengikuti seluruh gerakmu, selaras dalam harmoni puja dan pujimu. . 

Kubiarkan semua mengalir apa adanya. Tak hendak ku mengejarnya, tak hendak ku menghindarinya. Aku hanya perlu memahami tentang cinta. Karena aku tahu, dengan cinta kan kutemukan jawabannya.

Bak bibit yang tersemai di ladang subur, tumbuh dan terus tumbuh merindangkan kasih. Pohon cinta yang kokoh, yang senantiasa menawarkan keteduhan dari dedaunannya, kesegaran dari nafasnya dan manisnya buah yang siap dituai. Sebatang pohon hanya memberi tanpa pernah meminta balas jasa. 

love
fallin so deep in the heart
just let what it goes

Berlin, 7 March 2014 12:52 am


Selasa, 04 Maret 2014

Pertemuan

Mentari sore itu memendarkan jingga kemerahan di ujung cakrawala, dan bulan membiaskan seiris tipis lengkung indahnya. Senja mengabarkan bahagia yang dikirimkan dari seseorang di seberang benua. Adalah sesuatu yang nyata yaitu ketika raga tak berjarak, jiwa ini belumlah bertemu. Namun ketika lautan nan luas dan dataran benua benua membentang jarak, jiwa ini bagaikan menemukan belahannya. Menyatu dalam alunan nada yang seirama, menggemakan kidung yang senada. Seia sekata. 

Hidup ini telah menyimpan alur cerita yang harus dijalani. Kisah satu jiwa bak perahu yang harus menempuh ber mil mil perjalanan hanya untuk menemukan pelabuhannya, untuk menyelesaikan urusan yang harus dikembalikan pada semual, nol. Hati akan menjadi pemandu, cinta akan menjadi bahan bakarnya. Ketika getaran dalam hati muncul disitulah satu pertanda, sebuah pelabuhan telah menanti untuk jiwa menyelesaikan urusannya. 

Tak ada kebetulan, semua memang harus terjadi begitulah adanya. Pada sosok yang tepat dan pada waktu yang tepat, semua telah dihitung dengan seksama oleh pencatat kehidupan. 

Terkadang manusia lupa, terlalu larut dalam alur getaran yang membiusnya. Hingga terlena akan tugas yang sebenarnya. Tugas yang sebenarnya hanyalah sebagai pengemban cinta yang sejati, yaitu seorang pengemban cinta yang benar-benar paham bahwa tugasnya hanyalah menjadi pembawa cinta, untuk memberikan cinta pada yang dicintainya, tanpa tuntutan, tanpa penderitaan. 

Dan senja itu aku hanya mampu menggumamkan, terimakasih Tuhan, aku paham.

on the way to Berlin, tengah siang


Minggu, 02 Maret 2014

Gita Nirwana

Merona-rona indah berseri
dalam hamparan permadani rerumputan menghijau
bernaung birunya angkasa raya
sejauh memandang hanyalah keindahan semata

Bangkit dan menarilah
dalam getar alunan gita nirwana
cakrawala telah dibuka
pintu mata jiwa menyalakan api cinta
menyatu dengan desiran angin
menyatu dengan jingga mentari
menyatu dengan warna warni pelangi
menyatu dengan segala dalam semesta raya

duka lara adalah masa silam
yang telah bertumbuh menjadi kematangan
suka cita adalah masa silam
yang telah bertumbuh menjadi kebijaksanaan
semua indah apa adanya

(Unspoken) I Love You

"Pada kehidupan terdahulu dia adalah pasanganmu, tak kau lihatkah, cintanya sedemikian besar untukmu. Bukalah hatimu, beri dia kesempatan untuk menyelesaikan cintanya padamu." Bisikan itu demikian jelas menjejak pintu kesadaranku.

Aku teringat saat saat kami masih sering melewatkan senja bersama, menghirup wangi kopi, bercengkerama hingga terkadang lupa waktu hingga larut malam. Hanya saja aku tak pernah berpikir seberapa dalam apa yang dia rasakan. Dan akupun tak pernah berpikir, aku memiliki rasa yang sama. Hingga sore itu, ketika satu pesan singkat terkirim kedalam memori telepon genggamku, 
"I'll go abroad, for fourteen days. Europe" dari dia.
Saat itu aku sedang bersama teman-temanku, biasanya aku tak pernah menghiraukan apapun pesan darinya, namun sore itu, ada yang menghentak jantungku, berdegup tak beraturan, 
"kapan berangkat?" tanyaku, 
"Besok malam." 
Huuuffthh. 

Aku bertanya kepada diriku sendiri, "kenapa aku harus merasa kehilangan? biar ajalah dia berangkat, biasanya juga biasa aja.." 
"aaaaa... tapi kali ini tak biasa," kata sisi lain diriku. hm,,, ya, ada yang berubah didalam sini.

Sore hingga malam semua message ke dia, lewat media manapun terpending. Ah sudahlah.. 

Hingga malam ini, ada satu pesan lagi dari dia, "Baru sampai Jakarta." 
"Penerbangan 16 Jam??? What a feel? Huuufftt.. I'll miss you," jawabku, rasanya seperti diaduk-aduk mengatakan hal itu. 
"Miss you too" jawabnya singkat..
Semua mengalir indah, hingga saat dia berkata, 
"wish me luck." 
"yes, of course. aku selalu memelukmu lewat do'a do'a ku..." 
ah, 
dan, percakapan mengalir tak terasa, hingga dirinya benar-benar pamit karena harus ke pesawat. Aku duduk, hati kecilku membisikkan satu kalimat untuknya, "I love you.." satu kalimat yang tak pernah terucap oleh mulutku. Tapi aku yakin, sangat yakin, pasti dia mengatakan hal yang sama. Hati ini merasakannya. 

Dan akupun kembali pada kehidupanku sediakala, buku-buku, tuts keyboard dan layar laptopku. Aku tersenyum. Aku bahagia, sangat bahagia dengan semua kehidupan yang diberikan oleh Sang Pemilik Kehidupan ini, apa adanya, apapun yang aku terima. Dan aku sangat percaya, diapun merasakan bahagia yang sama.

I love you, deep in my heart.. 
in silent

Jumat, 28 Februari 2014

Kopi Hitam dan Kita

Kopi hitam, kopi kesukaan kita. Beberapa senja kita lewatkan bersama kopi hitam, kopi kesukaan kita. 
Dalam malam ketika bulan mati tak berjejak, hanya gulita dan debur ombak di pantai. Pada sebuah pondok kayu tua, menanti datangmu. Dua cangkir kopi telah terhidang, diseduh beberapa menit lalu. Asapnya menyisakan aroma harum. Kopi hitam, kopi pahit kesukaan kita. Satu waktu terjanji tuk sebuah pertemuan. Menit-menit penantian. Sosok jangkungmu akhirnya datang. Rupanya gelapnya malam tak mampu menutupi pertanda kehadiranmu. Sebagaimana sikap dinginmu yang tak mampu menutupi rasamu padaku. Aku tahu, setengah mati kau berjuang membendungnya, meski acap merembes juga, dan mengalirkan bulir-bulir pertanda yang mengabarkan tentang sebuah rasa. Ingin kuberkata untuk apa bendungan itu kau bangun sebegitu kokohnya? Biarkan saja dia mengalir mengikuti takdirnya, dalam keindahan alur menuju samudera. Namun tak terucap, akupun menyimpan semua kata itu dalam kotak memori saja.

Kupersilahkan kau duduk. Beradu hadap, saling bersitatap. Runtut kata terangkai menjadi sebuah cerita. cerita kerinduan yang bertalu-talu menghentak segenap ruang rasa. Berdesir desir berkesiur membaluri jiwa. Tak perlu kau jelaskan, aku sudah tahu apa yang ada di dalam sana. Aku ada disini untuk setiap keluh kesah jiwamu. Larutlah dalam rengkuh makna.

Hening sesaat, entah apa yang berkecamuk dalam anganmu, kubiarkan kau sejenak lelap dalam dirimu sendiri, dan aku memutar waktu, menyusuri lorong menuju pada tiga tahun silam, saat itu kita duduk dengan posisi yang sama, dan tentu saja dengan dua cangkir kopi hitam, kopi pahit kesukaan kita. Kau datang pada sebuah senja hari, dengan rasa yang sama besarnya. Namun sayang, waktu itu tak ada pintu tak ada jendela kesadaran kubuka. Tak satupun. Tapi kau tetap menggenggam semuanya. Dan akupun terhenyak, tiba pada satu kesadaran, betapa kuatnya kau kunci rasa itu, betapa kokoh kau membendungnya, namun aku yakin dengan kapasitasmu, kemampuanmu mengolahnya, sehingga semua berjalan seakan tak terjadi apa-apa. Kubiarkan berlalu jabat erat yang kau tawarkan, kubiarkan lewat begitu saja indahnya. Aku membuat marka, sekat yang memaksakan aku terdiam dalam kungkungan arogansi tanpa makna.

Tiga tahun semenjak saat itu, sekarang. Aku beruntung ketika jemari cinta hadir melembutkan kerasnya hati yang telah menjadi batu, melepaskan berjuta kubik kemarahan, dendam, iri dan kesombongan. Lalu menggantikannya dengan cahaya dan cinta yang begitu agung. Hati ini meluas, seluas samudera, bersedia menerima apapun yang datang dengan penuh keikhlasan. Kesombongan luluh berganti dengan kerendah hatian nan indah. Dan ketika kaupun datang lagi pada saat yang tepat. Saat samudera jiwa telah mampu menampung luapan apapun. 

Aku menatap keatas, asap rokokmu menari-nari penuh sukacita, berbaris acak riang gembira merayakan pertemuan jiwa yang menunggu sekian lama. Beberapa kali tertolak, bak kelahiran dan kematian rasa yang berulang-ulang. Reinkarnasi cinta akhirnya menemukan penyelesaiannya. Semoga. 

Kamis, 27 Februari 2014

Sore Itu

Jepun Bali warna merah muda itu terlihat mekar bergerombol di pokok-pokok tangkai nun di pucuk atas sana. Aku mendongak menikmati keindahannya. Seluruh permukaan pohon itu nampak memerah muda, daun-daun hijaunya tersamar dibawahnya. Sementara di seberang jalan, pohon yang sama, hanya nampak pucuk-pucuk merah mudanya, tak satupun bunganya mekar. Tadi seseorang telah memanen bunga-bunganya.

Aku termenung, menemukan sesuatu dalam hatiku. Ya, begitulah seharusnya dalam mencintai. Seperti halnya menanam tanaman bunga, memeliharanya, memupuknya dan membiarkannya tumbuh besar dan berbunga, cukuplah dengan memandangi bunga-bunga yang indah bermekaran tanpa merenggutnya dari tempat dimana dia berada, menjadikan diri ini dipenuhi dengan kebahagiaan. Mencintai bukanlah dengan cara merenggut bunga dari tangkainya lalu menjadikannya hiasan di atas vas meja.

Dan kubiarkan semua berjalan apa adanya, seperti biasanya. Kubiarkan cinta mekar dalam jiwaku, seperti membiarkan bunga-bunga jepun itu tetap pada pokoknya. Kupandangi dengan sepenuh jiwa, itu cukup membuatku bahagia. Dan cintapun tersenyum padaku.

Di sore itu

Kamis, 13 Februari 2014

Kubiarkan Memerah Jambu

Sendiri di sudut kamar di penghujung malam, suasana diluar sama seperti biasanya, sunyi, sesekali hanya gemerisik angin menyapu dedaunan pohon mangga di depan rumah dan percakapan beberapa pemuda dengan logat Indonesia timur yang melengking-lengking di belakang rumah. Sudah kucoba merebahkan tubuhku dan tidur, namun gagal, beberapa kali kubalik-balik badanku, tetap saja tak bisa. Setiap kali kupejamkan mata, lengkungan mata yang membentuk bulan sabit ketika tertawa itu selalu saja muncul dengan sangat jelas, lekuk tertawanya, deretan giginya yang rapih, kepulan asap rokoknya, suaranya, ekspresinya, sorot mata teduhnya.. semua... Tuhan kenapa denganku ?? 
Kenapa tiba-tiba menjadi begini ? Inikah yang disebut pengingatan bawah sadar ? Ataukah ini halusinasi? Apakah aku sedang terjebak dalam sebuah kisah fiksi yang menceriterakan tentang lakon kehidupan dengan alur reinkarnasi? Rasa ini... kenapa?

Semenjak hari itu, semenjak pertemuan yang tak direncanakan itu, semua rasa seperti diaduk-aduk. Aku merasa sangat dekat dengannya, seakan-akan dia adalah bagian dari hidupku. Ingatan-ingatan itu berkelebatan. Dan semakin kuat muncul kala kupejamkan mataku. Semua pertemuan yang sebelumnya tak pernah aku anggap penting tiba-tiba muncul silih berganti bak film di layar bioskop. Diiringi dengan rasa aneh, yang aku tak tahu apa namanya. Tuhan, aku tak berani memejamkan mataku. Karena setiap kupejamkan, wajahnya muncul bertubi-tubi. Aku takut, aku tak mau keluar dari dunia itu.

Berjam-jam aku bergelut dengan pengingatan dan rasa yang tiba-tiba menjadi aneh ini. Untuk menghubunginya, aku tak punya cukup nyali. Aku memandangi wajahnya yang terpampang di wall dengan jelas. Jelas sekali, seakan tersenyum denganku. "Hai", sapaku pada gambar itu. Sesal yang tak mungkin kutebus dengan apapun atas sikapku selama ini yang telah menyia-nyiakan perhatiannya, seakan ingin kubayar dengan ini. Entahlah. 

Akhirnya, kuputuskan dengan segenap kesadaran, kubiarkan rasa ini masuk dan terus masuk ke tempat terdalam dalam jiwaku, kubiarkan ada disana dan memerah jambu. Hingga memenuhi jiwaku, dan kubiarkan terus meluas-meluas dan terus meluas, hingga menuju kepada dia yang ada dalam gambaranku kubiarkan memenuhinya dan mewarnainya juga. Karena aku tahu rasa kasih yang paling murni takkan pernah menyakiti siapapun. Kubiarkan dia tenggelam dalam merah jambuku. "Ya, kuijinkan kerinduanmu hadir untukku, kuijinkan semua darimu yang selama ini kutolak ada untukku, kuijinkan dirimu ada bagiku ketika kau menginginkannya ada aku padamu."

"terimakasih Tuhan, aku menjalani saja, semua terjadi atas ijinMU,  itu pasti, dan aku meyakini"

Seiris Sesal

Lebih dari hitungan enam tahun sudah berlalu sejak sore itu. Sore yang mendung dan biasa-biasa saja menurutku. Bukan dirimu tujuanku bertemu, tapi seorang teman yang memang sudah aku kenal dekat sebelumnya. Kita berkenalan, bersalaman, berbincang-bincang. Biasa-biasa saja, tak ada kesan yang lebih. Aku tak sempat memperhatikanmu, karena menurutku dirimu terlalu datar dan terlalu formal untuk dijadikan teman. Jadi aku tak terlalu peduli keberadaanmu. 

Pun ketika tiba-tiba pada suatu siang dirimu menghubungiku beberapa waktu sejak sore itu, mungkin hitungan bulan, mungkin juga hitungan minggu, aku lupa. Aku hanya tertawa ringan dan tak serius menanggapinya. Ah, isenglah pikirku.

Aku tak pernah tahu kapan tepatnya akhirnya kita jadi berteman. Hingga kita menjadi cukup saling mengenal, menghabiskan sore bersama, sharing, hang out, ngopi, ngobrol. Tetapi tetap saja buat aku dirimu biasa-biasa saja. Walaupun beberapa kali dirimu menyatakan kerinduanmu padaku, kamu ingin menyenangkan aku dengan mengajak liburan bersama, tak jua aku tanggapi. Aku berlalu, melewatkan uluran tiket Bali, Malaysia... ahh. Semanis apapun kata-katamu, sebaik apapun dirimu, telponmu, smsmu, semua sapaanmu aku tanggapi dengan dingin. Biasa. Datar. 

Mungkin aku terlalu sombong, cuek dan masabodoh padamu, dan mungkin itu yang akhirnya membuatmu diam saja ketika dirimu berkunjung ke kota tempat aku tinggal. Namun, ketika Tuhan menghendaki terjadinya sebuah pertemuan, aku maupun dirimu takkan bisa menghindarinya. Bukan suatu kebetulan bila akhirnya aku tahu dirimu ada disini. Berarti Tuhan memang berkehendak kita bertemu hari itu. Dan entah apa yang menggerakkan pikiranku saat itu, aku mengambil handphone disaat aku sedang sibuk dengan angka-angka di laptopku. Aku lupa apa tepatnya yang aku katakan saat itu, yang pasti aku protes karena dirimu datang ke kota ini dan tak memberi kabar tentang kedatanganmu, "aku gak sukkkaaa!!" kataku. Dengan kalem kamu menjawab, memang gak memberi kabar karena biasanya aku sibuk. "Aku culik yaa.., kita makan diluar aja" kataku..

Dan sore itupun kita habiskan dengan secangkir kopi hitam kental dan kepulan asap rokokmu, seperti biasanya, seperti dulu. Tak ada yang berubah denganmu, kamu masih seperti dulu, mengulang-ulang cerita  tentang pertemuan kita pertama kali di sore yang mendung itu. Obrolan kita seperti biasa seru, dari ujung jalan dirimu kujemput hingga ujung jalan dirimu kuantarkan kembali. Ya, kamu tetap sama, tapi, aku yang berubah. Aku tak tahu kenapa, mungkin saat ini hatiku sudah melunak, meski aku tak menampakkannya di depanmu. 

Entah apa ini, mungkin simpati, mungkin kesadaran yang lain, aku tak tahu apa tepatnya, yang pasti beberapa  saat semenjak pertemuan itu aku memikirkan tentang dirimu, dan aku baru sadar, ternyata dirimu memperhatikan aku selama ini, dan aku yang terlalu masa bodoh. Tiba-tiba aku disergap rasa kehilangan moment-moment saat kita bersama-sama...Terselip sesal. Maafkan aku.