Senin, 19 November 2012

Kopi Hitam & Kamu

Masih belum terlalu siang, walaupun agak terlambat bila disebut sarapan pagi. SGPC Bu Wiryo masih sama seperti aku kuliah dulu. Aku duduk mengambil tempat di pojok barat, hingga leluasa memandangi seluruh ruang. Aku berharap melihatmu datang kemari, karena aku tahu dirimu sedang ada di kota ini, dan dirimu biasanya pasti menyempatkan kemari. 

Pintu masuk, lalu lalang orang silih berganti. Tak terlalu ramai, hingga mudah mengamati siapa yang datang dan siapa yang pergi. Tak jua aku menemukan sosokmu. Hingga pada beberapa suapan, pandangan mataku tertumbuk di meja sebelahku yang dari tadi aku abaikan dari penglihatanku. Seorang perempuan dan temannya terlihat asyik mengobrol. Perempuan itu, mirip sekali dengan kamu, namun terlihat lebih matang, tenang dan dewasa. Secangkir kopi hitam menemaninya. Seketika darahku seperti tersirap, kamu kah itu??

Aku tak berani menyapa. Aku takut bila itu kamu, kamu tak mau lagi mengenaliku. Terlalu banyak luka aku hujamkan padamu. Namun bila dia bukan kamu, ingin sekali aku menyapanya, sekedar mengobati kerinduanku pada sosokmu. Benar-benar kuat daya magnet perempuan itu, menyihirku hingga pandangan ku lekat padanya, Caranya tersenyum, tertawa renyah diantara ceriwis yang mengalir dari mulutnya. Dan yang sangat mirip adalah kopi hitamnya. Mana ada sih pagi-pagi gini perempuan sarapan di warung minumnya kopi. Kadang-kadang aku tak habis pikir dengan minuman kegemaranmu itu. Dan kamu selalu mengatakan, kopi itu kamu, pahitnya kopi seperti pahitnya hidup yang kadang kadang harus kausesap, namun sepahit apapun kopi selalu terselip rasa manis seperti kamu, sepahit apapun hidupmu selalu ada senyum manis menghiasi wajahmu. Ah... kamu memang istimewa. 

"uhhuukk", aku tersedak teh manisku,karena tiba-tiba perempuan itu menoleh ke arahku, sekilas, mungkin dia merasa risih dari tadi aku perhatikan. Dia tidak berkata apa-apa, hanya melihatku. Dan aku yakin perempuan itu kamu. Kamu yang aku sia-siakan beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu segera berdiri dan mengajak temannya beranjak pergi. Aku hanya menunduk, walaupun dalam hati aku yakin sekali itu kamu, kamu yang tak sudi lagi menyapa aku. Nyaliku lenyap, menguap takmampu berkata-kata.. hanya pandangan mataku mengiringi kepergianmu dari kejauhan. Maafkan aku perempuanku.