Sabtu, 29 September 2012

Berguru Pada Diri

Tanpa perlu penambahan, sebenarnya hidup ini sudah sempurna. Keserakahan manusialah yang membuatnya menjadi nampak tak sempurna. Tatkala pikiran tidak dikotori oleh keluhan dan kekurangan maka, setiap musim adalah musim terbaik. Karena setiap musim membawakan tugasnya masing-masing. Seperti halnya kita tidak bisa mengatakan gula itu lebih baik dari garam, keduanya memiliki tempatnya masing-masing. Kebodohan manusia yang tidak mengetahui fungsi dari gula dan garamlah yang menyebabkan seorang manusia merasa salahsatunya lebih penting dari yang lain. Pun demikian dengan manusia semua dilahirkan dengan fitrahnya dan mengemban tugasnya masing-masing. Menjadi tukang sapu, menjadi buruh, menjadi pesuruh tidaklah lebih buruk dari seorang juragan. Tuhan tak pernah mengatakan bahwa seorang bawahan lebih rendah derajatnya dari seorang atasan, ukuran Tuhan bukanlah ukuran picik manusia. 

Yang Maha Sempurna, tanpa cela telah menciptakan semua dalam satu keseimbangan, keseimbangan senantiasa melahirkan keselarasan, harmoni dan kedamaian. Mulai dari jagad raya, ribuan bintang gemintang berarak dalam orbitnya dengan teratur, tumbukan hanya sesekali terjadi, namun itu tak merusak tatanan besar  semesta. Semua tunduk pada ketetapannya. Dalam jasad kita pun Yang Maha Sempurna, tanpa cela menciptakan satu keseimbangan, satu homestasis. Yaitu suatu konsep dimana setiap organisme memiliki kemampuannya sendiri menjaga dan mengatur keseimbangan internalnya. Setiap hari dalam tubuh kasar ini terjadi pembongkaran, pembuangan bagian bagian tubuh yang aus dan digantikan oleh sel sel baru yang lebih sehat. Namun lagi-lagi, kesombongan keserakahan dan ketidaktahuan manusialah yang merusak tatanan keseimbangan ini.  Bertuhan pada hawa nafsu, diperbudak oleh rasa nikmat yang dikecap lidah, manusia tak mau mempedulikan jeritan usus, jeritan ginjal, jeritan hepar, tangisan urat-urat nadi yang mengejang karena kolesterol buruk dan seterusnya. Hingga suatu hari tubuh tak kuasa lagi menahan deritanya hingga terkapar dan rusak segala fungsinya. Pun begitu, manusia tak juga mau menoleh kedalam, masih juga sibuk menuding kesana kesini, menyalahkan dokter yang tak becus memberi resep, menyalahkan pabrik obat yang obatnya tidak manjur dan akhirnya menyalahkan Tuhan yang memberinya sakit. 

Bila kita mau sedikit merenung, benarlah kata seorang bijak yang mengatakan, penyakit itu bukanlah kutukan Tuhan, namun penyakit adalah akumulasi kebiasaan makan kita yang buruk selama bertahun-tahun. Tuhan sudah merancang semua dengan sangat sempurna, bukan hanya hardware berupa badan kita, namun satu paket dengan software berupa ilmu untuk mengoperasikan badan ini. Bila sekarang pemerintah giat mengkampanyekan menu gizi berimbang, sebenarnyalah Tuhan sudah berpesan sejak berabad-abad lampau,  ..."makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan." (QS 7 : 31)

Jumat, 07 September 2012

Perfect Coffee

Espresso selalu serasi dengan suasana malam. Secangkir kecil namun sanggup menghentak jantung hingga menggugah indera penglihatan. Bagi sebagian orang, espresso hanyalah kopi yang sangat pahit dan aneh. Ya aneh, karena selain pahit, kental, sedikit sekali dan harganya lumayan. 

Espresso bagiku adalah potret kehidupan. Espresso selalu bisa menggambarkan hidup dengan caranya yang indah, dalam pahitnya sebenarnya ada manis yang bisa dirasakan. Mencicipi espresso bukanlah seperti mereguk minuman pelepas dahaga. Meminumya adalah dengan menyesap pelan pelan. Sebab bila terburu-buru meminumnya, hanyalah pahit yang akan dirasakan. Tanpa makna. Rasa manis yang seharusnya ada akan terlewat begitu saja. Seperti halnya kehidupan apabila dijalani dengan ketergesa-gesaan maka akan berlalu begitu saja tanpa makna kehidupan. Namun apabila dijalani dengan penuh kesabaran akan ditemukan, betapa kehidupan menyimpan berjuta-juta kemanisan hidup, kebahagiaan.

Espresso, perfect coffee. I love it!!