Rabu, 25 Desember 2013

Bisik Hening Empatpuluh

Adalah seusap lembut penghujung malam menjelang pagi menyelinap di ruang jiwa, mengingatkan akan datangnya waktu yang tak pernah berhenti. Menggamit ingatan pada lembar-lembar masalalu, mengajak lekuk lekuk kelabu memutar ulang semua kisah. Bak sebuah pentas drama kehidupan, sebuah layar raksasa yang menayangkan ulang semua yang terekam. 

Layar membentang dalam sinema imaji, baik buruk, susah senang, sedih bahagia, hidup adalah warna-warni si dua satu, rwa binnedha, satu selalu ada untuk yang kedua begitupun dua ada untuk yang satunya. melengkapi. Menerima keduanya apa adanya dengan penuh sabar dan syukur, karena keduanya memang diciptakan untuk ada. Saling memberi dan menerima dalam sebuah keselarasan yang menjadikan semua menjadi indah.

Satu episode mengisahkan bahwa hidup adalah sebuah pohon, mengakar dalam, membumi, dan dedaunan menengadah ke atas ke haribaan Tuhan, menjadi rumah, menjadi sumber makanan, menjadi jalan bagi mengalirnya sumber air pengetahuan. Memberikan tanpa berharap sebuah balasan. Berbuat tanpa terikat pada keinginan untuk hasil. 

Adalah peluk udara pagi mengingatkan akan keberadaan bejana jiwa yang pernah terlahir dan akan berakhir dalam satu rentang waktu dalam ketentuan Sang Maha Pencipta. Berawal kosong dan bebas, tak berisi beban dan hanya terikat pada Yang Satu, begitupun seharusnya ketika berakhir nanti, bersih, kosong dan hanya kembali kepada Yang Satu. 

Satu ketukan lembut di daun pintu, menyapa atman, menguntai doa dan keberkahan mengingatkan untuk kembali berjaga dan bekerja penuh keikhlasan dalam diam. Terus sibuk berbuat dalam kehendakNYA hingga ketukan lembut di daun pintu jiwa, penanda waktu telah sampai pada ujungnya. 

Bebaskan kembali jiwa, biarlah hanya terikat pada Yang Satu, bersihkan hingga tampaklah  terang benderang. 

#merayakanbebas #penuhcinta #penuhberkat #penuhsyukur #terimakasih Allah 

Jumat, 22 November 2013

Aku dan Teman

Engkau menanyakan tentang aku. Hanya seulas senyum tipisku sebagai jawabannya. Sudah terlalu lama kau pergi meninggalkan aku, sudah terlalu jauh jarak yang terbentang. Terlalu banyak yang kau tak mengetahui tentang hidupku. Mungkin, kau nyaris tak mengenaliku. Bila jiwa telah tak seia sekata, takkan lagi rasa yang sama kan tercipta. 

Dulu mungkin berkubang airmata dan tangisan manakala melihatmu tak berpihak kepadaku. Dulu ada amarah, sumpah serapah, dendam kesumat dan tak bisa menerima semua perlakuanmu. Tapi itu dulu temanku. Saat ini kau adalah temanku, teman yang telah berjasa membuatku terjatuh di titik nadir, sehingga membangkitkan sebuah kesadaran akan pencarian kesejatian.

Kesedihan yang dalam menyadarkan aku, bahwa aku berada dalam kegelapan. Dan aku merangkak mencari pelita untuk menemukan cahaya. Dan Tuhanpun mendengar ratapanku, pencarianku disambutNYA dengan memberikan cahaya dan cintaNYA untukku. Sungguh, sebuah ketenangan yang luar biasa, damai yang tak bisa ditukar bahkan dengan seribu cinta darimu temanku..

Semua memang harus terjadi untuk sebuah alasan, dan kitapun harus bertemu dan berpisah untuk sebuah alasan. Tak perlu ada yang disesali, tak perlu ada yang dipertanyakan dan tak perlu ada yang dikhawatirkan. 

Saat ini semua sudah menjadi indah sebagaimana harapan. Keindahan untuk kehidupanmu, dan damai sejati untuk kehidupanku. Biarkan semua berjalan apa adanya sebagaimana kehendak Tuhan, biarlah semua berbahagia menjalani pilihan hidupnya. 

Senin, 23 September 2013

Memeluk Masalalu (Dulu)

Dulu pernah indah. Dulu, aku pernah memiliki mimpi bersamanya. Dulu, aku pernah memiliki harapan tinggi bersamanya. Dulu dia pernah datang padaku dengan sejuta manisnya tutur kata. Dulu kami pernah bersama-sama merajut asa. Dan, dia memutuskan pergi bersama yang lainnya. Yang ternyata kekasih lamanya. Dulu aku pernah merasakan sakit yang teramat dalam atas kepergiannya. Dulu, aku menganggapnya pengkhianat cinta. Dulu aku menganggapnya manusia keji. Dulu semua hal adalah buruk tentang dia. 

Dulu adalah serangkaian peristiwa. Terangkum dalam bingkai-bingkai masa lalu. Masa ketika dendam kesumat menyala-nyala. Sumpah serapah membahana. Sakit yang tak terperi, kecewa yang amat dalam. Sakit. Dulu adalah sebuah tanya. Sebuah protes ke alam raya yang tak kunjung menemukan jawabannya. Tuhan, kenapaaaaaaaa!!!!??

Seorang teman mengajakku memaafkannya. Sudah. Mulutku sudah mengucapkannya. Hatiku sudah. Setidaknya, aku merasa sudah memaafkannya. Walaupun sebenarnya aku tak pernah tahu, maaf itu apa, perih itu masih ada. Aku memutuskan terus melanjutkan perjalanan, menapaki sekarang. Mengendap dalam dan tertutup aneka peristiwa. Tertutupi kamuflase kesibukan dunia, tuntutan perut dan materi lainnya. Kesibukan membuat sejenak melupakan apappun yang terjadi dulu. Hingga aku melupakannya. Aku tak pernah menyadari dulu masih selalu terbawa, terbungkus rapih dalam sudut jiwa. 

Dulu sudah lama berlalu. Aku nyaris lupa. Aku merasa semua sudah menjadi beda. Aku tak pernah hirau, ketika percik-percik desiran perih kadangkala muncul. Biarkan saja. Berlalu berlalu berlalu, aku harap semua berlalu dan menjadi indah. Hingga satu ketika, aku sempatkan diriku berkaca. Aku tak bahagia. Aku masih menginginkan bahagianya. Dulu tak sepenuhnya tersimpan rapi. Kadang-kadang geliatnya muncul di permukaan dan menimbulkan kesakitan yang luar biasa. Aku merintih, Tuhan, ajari aku membuang dulu. Aku tak mau dia selalu membebaniku. Namun Tuhan seperti tak mendengarkan aku. Dulu justru semakin sering muncul dan semakin sering menyakitiku. 

Aku terduduk bersama-sama mereka, para pencari damai. Mendengarkan seorang guru, mengajarkan tentang sebuah rahasia. "Ketika kau sangat membenci sesuatu, sebenarnya kau tengah mengundang sesuatu itu datang padamu, semakin kuat kau membencinya, semakin kuat kau mengikat hal yang kau benci itu tetap ada dalam hidupmu." "Lantas, bagaimana cara melepaskannya guru?" "Melepaskan apa yang kau benci, bukan dengan keinginan melepaskannya. Karena semakin kuat keinginanmu melepas, semakin kuat keterikatanmu. Terima apapun yang sudah terjadi dalam hidupmu dengan penuh keikhlasan. Semua terjadi karena memang harus terjadi. Terima dan maafkan. Ikat dirimu pada Tuhan, hanya Tuhan. Biarkan hanya Tuhan yang menguasai hidupmu. Ketika kau sudah mengikatkan dirimu pada Tuhan, takkan ada lagi sesuatupun yang mampu menyakitimu."

Aku terdiam. Luluh. "Tuhan, aku menerima semua jalan hidupku, semua terjadi karena memang harus terjadi. Bukan untuk menguntungkan siapa, bukan untuk merugikan siapa. Semua harus terjadi untuk satu rancanganMU. Aku wayangMU, aku menerima semua jalan ceritamu. Karena aku tahu, semua hal buruk yang menimpaku adalah hasil dari perbuatanku sendiri, karena aku tahu ENGKAU tak pernah menganiaya hambaMU. Maha Kasih, Maha Sayang, Maha Cinta, maafkan aku. Selama ini aku tak pernah menganggapMU benar-benar ada. Hari ini aku bersimpuh, luruh. Peluk aku Tuhan, biarkan aku larut dalam damaiMU, biarkan aku berpegang pada taliMU, selalu bersamaMU." Sesuatu yang hangat menyelinap dalam jiwa, menyelimuti dengan penuh kasih. Kasih yang berbeda, yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Sejatinya kasih, sehingga aku mampu tersenyum, senantiasa tersenyum dan memancarkan kasih yang sama untuk semua.

Jauh di kedalaman, saat ini kulihat dulu dengan penuh kasih, tanpa kebencian. Kubiarkan dulu tetap berada disana apa adanya dan kupeluk dengan penuh kedamaian. Dulu menjadi sebuah pelajaran yang indah disaat aku mampu memeluknya dengan cinta.



Selasa, 14 Mei 2013

Semua Akan Indah Pada Waktunya

Gembira tak. Sedihpun tak. Semuanya tak mampu lagi menghujani hati. Datar dan terasa sangat biasa. Mungkin inilah damai. Memeluk sunyi dengan satu senyuman, karena ku telah menemukan betapa cahaya hidup lebih mampu mengisi kesunyian bukan dengan suara manusia namun dengan kehadiran bahagia yang datang bukan dari siapapun, namun muncul dari kedalaman diri. 

Pencarian panjang tentang damai sejati. Tak semudah memindah channel televisi. tak semudah mencari teman minum kopi. Sekian lama, kesana kemari mencari damai. Lama tak kunjung bertemu. Nyaris jiwa ini putus asa, nyaris jiwa ini menyalahkan jalan hidup. Namun setelah berada di kejauhan, dan mampu mencari tempat yang lebih tinggi tuk menengok perjalanan kehidupan, mampu berpikir jernih, barulah menemukan., betapa, segala yang terjadi, memang haruslah terjadi. Airmata dan peluh yang membasahi setiap inci perjalanan hidup itulah yang menyiram jiwa ini, sehingga terus bertumbuh-terus bertumbuh, merambat hingga jauh dan akhirnya menemukan tempatnya untuk berkembang, berbuah dan menjadi berguna. 

Ketidaksabaran manusia kadangkala membuatnya menghentikan langkahnya di tengah perjalanan, padahal pada saat itulah Yang Kuasa tengah menggoreskan pahatya untuk mengukir jiwa kita agar lebih indah. DIA tengah menggosok jiwa kita agar lebih bersih dan cemerlang, sakit memang, namun tak ada satu kecemerlangan yang didapat tanpa proses yang "menyakitkan". Bukankah, emas, intan, batu pualam, harus digosok dulu sebelum mendapatkan kilauan dan nilainya yang tinggi? bukankah mutiara harus memeluk sesuatu yang membuatnya perih sebelum bisa menghasilkan butirannya yang berkilauan? Bayangkan emas, intan dan pualam tak tuntas mengalami perihnya proses, tentu yang didapatkan hanyalah sebongkah batu yang tak bernilai tinggi.

Bila penderitaan, sakit hati atau kemarahan datang, terima saja dengan penuh kesadaran, bahwa ini adalah sesuatu yang memang harus dilewati untuk lebih mendewasakan kita. Peluk dengan penuh kesadaran, bahwa kita ataupun orang lain tak ada yang luput dari kesalahan, memaafkan dan memaklumi takkan menambah sakit hati kecuali pada orang-orang yang menyombongkan bahwa dirinya tak pernah  membuat kesalahan. Terimalah perih itu dengan penuh lapang dada dan percayalah, semua akan indah pada waktunya.  ^_^



Sabtu, 20 April 2013

Nyanyian Burung Hantu

" Matahari terbenam, hari mulai malam. Terdengar burung hantu, suaranya merdu.. uu uu uu uu uu " 

Bekerja adalah kewajiban yang harus dijalani, ibarat sebuah pernikahan yang didasarkan atas perjodohan, aku tak memilih pekerjaanku saat itu, karena tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, aku melamar dan menggelutinya. Banyak suka duka, terkadang jenuh dan demotivasi, serasa ingin bercerai dengannya. Namun , bila aku resign, mungkin tak mudah aku menemukan lagi yang seperti ini. Didasari pemikiran itu, aku memutuskan untuk mencintai pekerjaan ini, apapun dia. Seperti pasangan hidup, pasti ada kelebihan dibalik beberapa kekurangannya. Benarlah, perlu strategi hati agar tak jenuh dan bertengkar sendiri, harus seimbang antara hak dan kewajiban keakuan, harus bisa menemukan serpih diri sendiri diantara tuntutannya yang mengaburkan jatidiri. Aku bisa tetap mencintainya tanpa mengabaikan kebahagiaan diriku sendiri.Tanpa harus menyelingkuhi pekerjaanku, aku hanya harus membagi waktuku antara pekerjaan dan diriku sendiri. Ya, aku menemukannya di dalam malam. 

Entah apa jadinya bila hari berlalu tanpa malam. Terimakasih Tuhan, telah menghadiahkan malam dalam setiap harinya, meskipun aku tak bisa memiliki seluruh malam, namun setidaknya ada secuil malam yang bisa benar-benar menjadikan diriku adalah aku. Tak peduli apa namanya, malam minggu ataupun bukan, setiap lewat tengah malam adalah keindahan tersendiri buatku. Waktu dimana aku bisa menjadi aku, waktu dimana aku terbebas dari jerat-jerat kapitalis, waktu dimana aku tak harus berhubungan dengan uang dan segala materialisme. Waktu dimana aku bisa  memiliki diriku sepenuhnya, bercengkerama dengan penuh cinta dengan cinta sejatiku, Tuhan. 

Senin, 01 April 2013

Hening Jiwa

Lahir, hidup. Butiran demi butiran molekul oksigen merasuki paru-paru, lalu dikeluarkan bercampur karbon sisa pernafasan. Menikmati setiap hirup dan hembusan nafas. Terduduk hening di tepian sungai bening yang mengalirkan gemericik air. Paras wajahnya tersaput lembut sinar matahari senja, gurat-gurat lelah tersamar. 

Sabana, hutan dan gurun kehidupan mengajarkan banyak hal. Rumpun ilalang, pepohonan menjulang, butiran demi butiran pasir, desau angin, silau mentari, basahnya rintik hujan, dan setiap jiwa yang dijumpai menyemaikan pelajaran kehidupan, membawa jiwanya bertumbuh. 

Kadang tak yakin tuk mampu beranjak tuk satu pencapaian yang lebih tinggi lagi. Dia terlalu menjiwai bulir-bulir airmata yang menggenang tanpa mampu berucap pada siapapun. Tatkala pedih datang, semua luka-luka lama seakan-akan tercabik-cabik lagi. Terkoyak-koyak oleh angan, perasaan dan segala yang tak kasat mata tapi terasa. 

Lelah berangan-angan, lalu menyerah. Menyerah pada takdir, menyerah pada kuasa Illahi. Memilih untuk mati rasa. Pupuk memang tak berbau wangi dan tanah yang didangir adalah hamparan tanah yang sengaja dibuat terluka. Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini, semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Jiwa ini sedang bertumbuh dan berharap kuat sampai pada sebuah ketenangan yang tak terusik lagi oleh luka ataupun bahagia. Sedih tak mampu lagi membuatnya menitikkan airmata, hanya membuat butiran yang mengilatkan mata,  gembira tak mampu membuatnya tertawa, hanya seutas senyum simpul sederhana.  Kosong, tak ada sedih tak ada gembira. Hening.