Selasa, 04 Desember 2012

Langkah Di Atas Kaca


Dalam lelah aku berjalan diatas lantai kaca, indah sekali, nyata namun pastinya mudah sekali pecah. Mataku menerawang ke depan, kosong, gemericik air berlalu begitu saja tanpa kesan. Segenap pikiran dan perasaan tentang harapan bergumul seru dengan kenyataan. Tersakiti oleh kenyataan yang jauh dari tuntunan, hanya mampu memohon pada Tuhan, "bila berkenan, datangkan seseorang yang mampu membimbing aku dalamMU"

Entah benar atau tidak seseorang tiba-tiba datang menghampiriku. "Hei, aku ingin dekat denganmu" dan kujawab,"Tidak, kau tak akan sanggup berjalan bersamaku diatas lantai kaca ini. Rumpil dan mudah pecah". "Tidak disitu, aku akan membuat sebuah rumah kayu buatmu." Seperti ditampar selaksa badai. Aku terhenyak, kutatap dirinya yang tak begitu jelas dalam remang remang rembulan malam itu. "Siapakah kamu? dari manakah kamu datang? siapa yang mengirimmu padaku?" Tapi dia hanya terdiam, lalu pergi begitu saja.  

Sehari kemudian dia datang lagi, penuh semangat, seakan akan  memang menginginkan aku ada dalam hidupnya. Kusambut datangnya tanpa pikiran buruk sedikitpun. Aku duduik dan mencoba menerima dirinya. Apa adanya. Tanpa melihat siapa dia, seperti apa dia. Aku kesampingkan semua, aku hanya meyakini, bila datang orang yang bisa membimbingku dalamNYA, bisa bercakap dalam bahasaNYA, maka tak ada hakku utk menolak uluran tangannya. 

"Boleh aku bertanya?" selalu itu yang dia katakan sebelum berbicara, dan selalu "Ya" yang menjadi jawabanku. Kubiarkan ingatanku dilucuti, semua yang ingin diketahui aku berikan. Tapi seperti hari sebelumnya, lalu dia pergi begitu saja.

Selalu begitu, berulang kali, mendekat lalu menjauh, mendekat lalu menjauh. Dan akhirnya aku pun kelelahan. Aku katakan, "Sudahlah bila memang aku bukan bagian dari cita-citamu untuk apa masih datang padaku? bukankah itu hanya membuang-buang waktumu? pergikan saja aku dari kehidupanmu. Anggap aku tak pernah ada."  Dia menjawab, "Jujur, semenjak aku kenal dirimu ada warna lain yang berharga dalam hidupku. Hidupku lebih bermakna, bersahaja karena belajar dengan mindset hidupmu yang penuh sinergi. Kalaulah berkenan aku tetap ingin jadi teman/sahabatmu. Semangat dan kuatnya hidupmu juga memotivasiku.". Aku terdiam sejenak, jujur, semenjak dia menawarkan sebuah rumah kayu buatku, aku membuka diri padanya, saat itu sudah mulai tumbuh harapan-harapan, rasa suka dan aku mulai menikmatinya. Namun, dengan kata-katanya barusan, semua harapan dengan serta merta tertutup. Dia sudah menutup pintu sebelum pintunya benar-benar terbuka. 

Akupun mulai berpikir untuk menghentikan semua permainan ini. Aku tak mau larut terlalu dalam. Aku tak mau terbawa hanyut, karena aku tahu aku pasti akan terhempas diujung sana. Aku diam dalam sebuah pesan darinya yang tersampaikan untukku. Kubiarkan. 

"Kau boleh abaikan aku, kau bisa lupakan aku, tapi tolong, jangan biarkan aku minum kopi snediri malam ini." Sebuah permintaan yang tak pernah benar-benar dia ucapkan padaku, lebih mirip sebagai satu gumam yang samar-samar. Namun aku sempat menangkap pesannya. Aku datangi dia malam itu, bercakap dalam panjangnya malam, dan berakhir pada kesimpulanku. Aku harus melindungi diriku sendiri bila tak ingin terhempas dalam arusnya yang penuh gelombang. Sebentar beriak sebentar diam. 

Sudahlah, aku beringsut. Dan pintupun tertutup sebelum benar-benar terbuka. Aku meneruskan berjalan diatas lantai kaca, menerima apa yang ada, menikmati keindahan yang aku punya. Entah sampai ujung mana kan kususuri jalan ini. Diatas lantai kaca.