Selasa, 04 Desember 2012

Langkah Di Atas Kaca


Dalam lelah aku berjalan diatas lantai kaca, indah sekali, nyata namun pastinya mudah sekali pecah. Mataku menerawang ke depan, kosong, gemericik air berlalu begitu saja tanpa kesan. Segenap pikiran dan perasaan tentang harapan bergumul seru dengan kenyataan. Tersakiti oleh kenyataan yang jauh dari tuntunan, hanya mampu memohon pada Tuhan, "bila berkenan, datangkan seseorang yang mampu membimbing aku dalamMU"

Entah benar atau tidak seseorang tiba-tiba datang menghampiriku. "Hei, aku ingin dekat denganmu" dan kujawab,"Tidak, kau tak akan sanggup berjalan bersamaku diatas lantai kaca ini. Rumpil dan mudah pecah". "Tidak disitu, aku akan membuat sebuah rumah kayu buatmu." Seperti ditampar selaksa badai. Aku terhenyak, kutatap dirinya yang tak begitu jelas dalam remang remang rembulan malam itu. "Siapakah kamu? dari manakah kamu datang? siapa yang mengirimmu padaku?" Tapi dia hanya terdiam, lalu pergi begitu saja.  

Sehari kemudian dia datang lagi, penuh semangat, seakan akan  memang menginginkan aku ada dalam hidupnya. Kusambut datangnya tanpa pikiran buruk sedikitpun. Aku duduik dan mencoba menerima dirinya. Apa adanya. Tanpa melihat siapa dia, seperti apa dia. Aku kesampingkan semua, aku hanya meyakini, bila datang orang yang bisa membimbingku dalamNYA, bisa bercakap dalam bahasaNYA, maka tak ada hakku utk menolak uluran tangannya. 

"Boleh aku bertanya?" selalu itu yang dia katakan sebelum berbicara, dan selalu "Ya" yang menjadi jawabanku. Kubiarkan ingatanku dilucuti, semua yang ingin diketahui aku berikan. Tapi seperti hari sebelumnya, lalu dia pergi begitu saja.

Selalu begitu, berulang kali, mendekat lalu menjauh, mendekat lalu menjauh. Dan akhirnya aku pun kelelahan. Aku katakan, "Sudahlah bila memang aku bukan bagian dari cita-citamu untuk apa masih datang padaku? bukankah itu hanya membuang-buang waktumu? pergikan saja aku dari kehidupanmu. Anggap aku tak pernah ada."  Dia menjawab, "Jujur, semenjak aku kenal dirimu ada warna lain yang berharga dalam hidupku. Hidupku lebih bermakna, bersahaja karena belajar dengan mindset hidupmu yang penuh sinergi. Kalaulah berkenan aku tetap ingin jadi teman/sahabatmu. Semangat dan kuatnya hidupmu juga memotivasiku.". Aku terdiam sejenak, jujur, semenjak dia menawarkan sebuah rumah kayu buatku, aku membuka diri padanya, saat itu sudah mulai tumbuh harapan-harapan, rasa suka dan aku mulai menikmatinya. Namun, dengan kata-katanya barusan, semua harapan dengan serta merta tertutup. Dia sudah menutup pintu sebelum pintunya benar-benar terbuka. 

Akupun mulai berpikir untuk menghentikan semua permainan ini. Aku tak mau larut terlalu dalam. Aku tak mau terbawa hanyut, karena aku tahu aku pasti akan terhempas diujung sana. Aku diam dalam sebuah pesan darinya yang tersampaikan untukku. Kubiarkan. 

"Kau boleh abaikan aku, kau bisa lupakan aku, tapi tolong, jangan biarkan aku minum kopi snediri malam ini." Sebuah permintaan yang tak pernah benar-benar dia ucapkan padaku, lebih mirip sebagai satu gumam yang samar-samar. Namun aku sempat menangkap pesannya. Aku datangi dia malam itu, bercakap dalam panjangnya malam, dan berakhir pada kesimpulanku. Aku harus melindungi diriku sendiri bila tak ingin terhempas dalam arusnya yang penuh gelombang. Sebentar beriak sebentar diam. 

Sudahlah, aku beringsut. Dan pintupun tertutup sebelum benar-benar terbuka. Aku meneruskan berjalan diatas lantai kaca, menerima apa yang ada, menikmati keindahan yang aku punya. Entah sampai ujung mana kan kususuri jalan ini. Diatas lantai kaca.

Senin, 19 November 2012

Kopi Hitam & Kamu

Masih belum terlalu siang, walaupun agak terlambat bila disebut sarapan pagi. SGPC Bu Wiryo masih sama seperti aku kuliah dulu. Aku duduk mengambil tempat di pojok barat, hingga leluasa memandangi seluruh ruang. Aku berharap melihatmu datang kemari, karena aku tahu dirimu sedang ada di kota ini, dan dirimu biasanya pasti menyempatkan kemari. 

Pintu masuk, lalu lalang orang silih berganti. Tak terlalu ramai, hingga mudah mengamati siapa yang datang dan siapa yang pergi. Tak jua aku menemukan sosokmu. Hingga pada beberapa suapan, pandangan mataku tertumbuk di meja sebelahku yang dari tadi aku abaikan dari penglihatanku. Seorang perempuan dan temannya terlihat asyik mengobrol. Perempuan itu, mirip sekali dengan kamu, namun terlihat lebih matang, tenang dan dewasa. Secangkir kopi hitam menemaninya. Seketika darahku seperti tersirap, kamu kah itu??

Aku tak berani menyapa. Aku takut bila itu kamu, kamu tak mau lagi mengenaliku. Terlalu banyak luka aku hujamkan padamu. Namun bila dia bukan kamu, ingin sekali aku menyapanya, sekedar mengobati kerinduanku pada sosokmu. Benar-benar kuat daya magnet perempuan itu, menyihirku hingga pandangan ku lekat padanya, Caranya tersenyum, tertawa renyah diantara ceriwis yang mengalir dari mulutnya. Dan yang sangat mirip adalah kopi hitamnya. Mana ada sih pagi-pagi gini perempuan sarapan di warung minumnya kopi. Kadang-kadang aku tak habis pikir dengan minuman kegemaranmu itu. Dan kamu selalu mengatakan, kopi itu kamu, pahitnya kopi seperti pahitnya hidup yang kadang kadang harus kausesap, namun sepahit apapun kopi selalu terselip rasa manis seperti kamu, sepahit apapun hidupmu selalu ada senyum manis menghiasi wajahmu. Ah... kamu memang istimewa. 

"uhhuukk", aku tersedak teh manisku,karena tiba-tiba perempuan itu menoleh ke arahku, sekilas, mungkin dia merasa risih dari tadi aku perhatikan. Dia tidak berkata apa-apa, hanya melihatku. Dan aku yakin perempuan itu kamu. Kamu yang aku sia-siakan beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu segera berdiri dan mengajak temannya beranjak pergi. Aku hanya menunduk, walaupun dalam hati aku yakin sekali itu kamu, kamu yang tak sudi lagi menyapa aku. Nyaliku lenyap, menguap takmampu berkata-kata.. hanya pandangan mataku mengiringi kepergianmu dari kejauhan. Maafkan aku perempuanku. 

Sabtu, 29 September 2012

Berguru Pada Diri

Tanpa perlu penambahan, sebenarnya hidup ini sudah sempurna. Keserakahan manusialah yang membuatnya menjadi nampak tak sempurna. Tatkala pikiran tidak dikotori oleh keluhan dan kekurangan maka, setiap musim adalah musim terbaik. Karena setiap musim membawakan tugasnya masing-masing. Seperti halnya kita tidak bisa mengatakan gula itu lebih baik dari garam, keduanya memiliki tempatnya masing-masing. Kebodohan manusia yang tidak mengetahui fungsi dari gula dan garamlah yang menyebabkan seorang manusia merasa salahsatunya lebih penting dari yang lain. Pun demikian dengan manusia semua dilahirkan dengan fitrahnya dan mengemban tugasnya masing-masing. Menjadi tukang sapu, menjadi buruh, menjadi pesuruh tidaklah lebih buruk dari seorang juragan. Tuhan tak pernah mengatakan bahwa seorang bawahan lebih rendah derajatnya dari seorang atasan, ukuran Tuhan bukanlah ukuran picik manusia. 

Yang Maha Sempurna, tanpa cela telah menciptakan semua dalam satu keseimbangan, keseimbangan senantiasa melahirkan keselarasan, harmoni dan kedamaian. Mulai dari jagad raya, ribuan bintang gemintang berarak dalam orbitnya dengan teratur, tumbukan hanya sesekali terjadi, namun itu tak merusak tatanan besar  semesta. Semua tunduk pada ketetapannya. Dalam jasad kita pun Yang Maha Sempurna, tanpa cela menciptakan satu keseimbangan, satu homestasis. Yaitu suatu konsep dimana setiap organisme memiliki kemampuannya sendiri menjaga dan mengatur keseimbangan internalnya. Setiap hari dalam tubuh kasar ini terjadi pembongkaran, pembuangan bagian bagian tubuh yang aus dan digantikan oleh sel sel baru yang lebih sehat. Namun lagi-lagi, kesombongan keserakahan dan ketidaktahuan manusialah yang merusak tatanan keseimbangan ini.  Bertuhan pada hawa nafsu, diperbudak oleh rasa nikmat yang dikecap lidah, manusia tak mau mempedulikan jeritan usus, jeritan ginjal, jeritan hepar, tangisan urat-urat nadi yang mengejang karena kolesterol buruk dan seterusnya. Hingga suatu hari tubuh tak kuasa lagi menahan deritanya hingga terkapar dan rusak segala fungsinya. Pun begitu, manusia tak juga mau menoleh kedalam, masih juga sibuk menuding kesana kesini, menyalahkan dokter yang tak becus memberi resep, menyalahkan pabrik obat yang obatnya tidak manjur dan akhirnya menyalahkan Tuhan yang memberinya sakit. 

Bila kita mau sedikit merenung, benarlah kata seorang bijak yang mengatakan, penyakit itu bukanlah kutukan Tuhan, namun penyakit adalah akumulasi kebiasaan makan kita yang buruk selama bertahun-tahun. Tuhan sudah merancang semua dengan sangat sempurna, bukan hanya hardware berupa badan kita, namun satu paket dengan software berupa ilmu untuk mengoperasikan badan ini. Bila sekarang pemerintah giat mengkampanyekan menu gizi berimbang, sebenarnyalah Tuhan sudah berpesan sejak berabad-abad lampau,  ..."makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan." (QS 7 : 31)

Jumat, 07 September 2012

Perfect Coffee

Espresso selalu serasi dengan suasana malam. Secangkir kecil namun sanggup menghentak jantung hingga menggugah indera penglihatan. Bagi sebagian orang, espresso hanyalah kopi yang sangat pahit dan aneh. Ya aneh, karena selain pahit, kental, sedikit sekali dan harganya lumayan. 

Espresso bagiku adalah potret kehidupan. Espresso selalu bisa menggambarkan hidup dengan caranya yang indah, dalam pahitnya sebenarnya ada manis yang bisa dirasakan. Mencicipi espresso bukanlah seperti mereguk minuman pelepas dahaga. Meminumya adalah dengan menyesap pelan pelan. Sebab bila terburu-buru meminumnya, hanyalah pahit yang akan dirasakan. Tanpa makna. Rasa manis yang seharusnya ada akan terlewat begitu saja. Seperti halnya kehidupan apabila dijalani dengan ketergesa-gesaan maka akan berlalu begitu saja tanpa makna kehidupan. Namun apabila dijalani dengan penuh kesabaran akan ditemukan, betapa kehidupan menyimpan berjuta-juta kemanisan hidup, kebahagiaan.

Espresso, perfect coffee. I love it!!

Minggu, 10 Juni 2012

Menggenggam Damai Di Tanah Bali


Sebuah jalan hidup, terkadang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak kita. Semakin mendalami, semakin yakin bahwa memang ada Sang Maha Pengatur Kehidupan yang merancang desain hidup sedemikian indah. Semakin malu rasanya pada Sang Pencipta, manakala teringat pada saat-saat kepahitan hidup datang, mulut ini menggerutu, jiwa ini mengeluh. Tak sabar. Padahal bukankan dalam setiap panen harus ada proses yang panjang dan tak mudah??

Suatu malam, di tengah kekecewaan yang begitu dalam, kesedihan yang menguras air mata, jiwa ini terasa begitu lelah. Terabaikan, dalam sebuah relasi yang dipaksakan. Buntu semua nalar. Tak ada manusia yang bisa diajak bercengkerama. Aku hanya bisa terduduk dalam kegelapan, mencoba berdialog dengan kesunyian, hening. "Tuhan, bisikkan sesuatu padaku, aku sungguh lelah dengan semua ini, berikan jalan". Lama, hanya sunyi. Tak sesuatupu terdengar di telingaku, hingga akhinya sebuah kesadaran menyeruak dalam pikiran. Menerobos sel sel abu abu dalam otak, mengalirkan kesadaran menyatu dengan detak jantung, "Sabarlah, bukan dia yang terbaik saat ini, dirimu hanya perlu bersabar".  Damai sekali rasanya ketika kubuka kembali mata ini. Tak ada perasaan gelisah, meskipun aku belum mampu sepenuhnya menggenggam kesabaran itu.

Sepanjang waktu semenjak malam itu, yang adalah hanyalah kosong. Hanya sesekali sosokmu datang dalam sapaku meski akhirnya berakhir tanpa kesan. Hampa.

Hingga datang sebuah pesan singkat dari seseorang yang entah datang dari mana. Berbulan-bulan lalu, berkali kali pesannya aku balas dengan dingin. Namun dia begitu gigih dan keras kepala menyapaku lagi dan lagi. Aku risih. Aku merasa tak mengenalnya, bahkan pikiran buruk sempat mampir, apalagi dia tak pernah memperkenalkan jati diri yang sebenarnya. Malam itu, mungkin memang waktunya sudah tiba, aku tahu siapa dia. Tak seperti yang aku kira, tak seburuk persangkaanku padanya. Aku berada di persimpangan.

Kau masih ada, menatapku dengan cintamu, namun kau tak juga beranjak, kau hanya menatapku. Bahkan ketika aku terjatuh, tanganmu tak terulur. Kau tetap berdiri di tempatmu dan berharap akan datangnya sebuah keajaiban yang bisa menyatukan kita.

Ditempat lain, dia datang padaku menawarkan genggaman tangan yang tak pernah dilepaskan, menawarkan hati yang tak terbagi. Baginya cinta adalah pemberian yang harus diperjuangkan agar tumbuh dan berkembang.

Aku terdiam dalam kebimbangan.

Kaki harus terus dilangkahkan bila tak ingin hidup berhenti disini. Menentukan arah dalam sejuta kebimbangan, waktu terus berjalan dan tak mau menunggu lagi. Akhirnya hidup harus memilih satu jalan. Satu jalan saja. Jalan yang terbaik adalah jalan yang tidak menimbulkan luka. Hingga senyum kembali merekah dan dunia menjadi terang benderang dalam cahaya cinta. Selamat datang kembali dalam kehidupan nyata. Saling menguatkan dalam genggaman erat tak terlepaskan. 


("aku hanyalah obyek atas cinta, dan menjalaninya dengan penuh syukur"_Rey)

Selasa, 15 Mei 2012

Cukuplah Diam dan Tersenyum

"The difference between the enlightened and unenlightened is the difference between openess and narrowness" 

(Beda antara manusia yang tercerahkan dengan yang belum tercerahkan seperti beda antara keluasan pandangan dengan kepicikan pandangan) 

- Tantra guru -



Setiap episode kehidupan menyimpan guru-guru yang hebat. 

Setiap jejak kehidupan, menyisakan kesan yang berbeda pada setiap orang yang menjumpainya. Setiap kali melangkahkan kaki, tidaklah selalu membuat orang lain tersenyum, begitupun setiap langkah kaki yang dibuat orang lain tidak selalu membuat diri kita tersenyum. Begitulah manusia.

Kemarahan, cacian, kedengkian, hujatan, fitnah dan sejenisnya adalah penghuni batin yang belum bisa beristirahat dalam kebeningan. Yang melakukan tidaklah sadar, bahwa ketika satu jari sibuk menuding orang lain, jari-jari yang lain menunjuk pada dirinya sendiri. 

Goyah, gamang, bersedih hati dan membalas dengan kemarahan pada saat menghadapi tuduhan, musibah ataupun kenyataan hidup tak mengenakkan adalah tindakan yang melelahkan dari jiwa yang tak tercerahkan
Pengandaian batin manusia biasa ibarat hanyutnya sampah di banjir sungai, riuh gemuruh dan ribut. Pencerahan terjadi ketika seseorang sudah keluar dari arus banjir bandang kehidupan kemudian berdiri tenang dan seimbang di pinggir sungai, kemudian menyadari, semua sudah sempurna, apa adanya.

Menggali kedalam kedalaman jiwa, mencapai satu sumber kemurnian. Terkadang manusia menghujat pelajaran-pelajaran hidup yang dilaluinya, menyalahkan orang lain atas kehilangan dan musibah yang menimpanya, kesedihan dan aneka masalah kehidupan membuatnya menuding Tuhan tak menyayanginya. Padahal disitulah  letak pelajaran kehidupan, sebenarnyalah, duka cita dan kesedihan akan membawa dampak pemurnian yang besar bila manusia mampu memaknainya. Sebagaimana racun yang akan menjadi obat ditangan orang yang bisa mengolahnya. Seperti menggali sumur, awalnya berjumpa rumput, tanah, akar, lumpur lalu ada bebatuan, namun dengan ketekunan suatu hari akan berjumpa dengan kejernihan air. Halangan, cercaan dan penderitaan adalah jalan untuk menemukan arti kedamaian jiwa.

Bila jiwa murni telah tercerahkan, pujian dan cacian tidak menghentikan tugasnya untuk melayani kehidupan.  Seperti matahari, apapun komentar orang, besok pagi ia tetap terbit melayani kehidupan. Mau ditutup awan atau tidak, dia tetap bercahaya. Dia hanya tunduk pada Sang Pemilik Semesta.

Bangun pagi dan bergumamlah, "Sehari lebih tambah dekat dengan dengan hari kematian. Untuk itu tak ada cara yang lebih baik untuk mengisi hari ini dibandingkan melihat dan memperlakukan semua makhluk dan kejadian dengan penuh pengertian dan welas asih. Tidak saja cara ini membimbing di alam kematian, namun ia juga membahagiakan hari ini".  


Shanti Shanti Shanti. Matur Suksma.

        
(inspired of Bali Shanti 2. Pulang ke Rumah Kedamaian dan Keheningan. Gede Prama)

Sabtu, 28 April 2012

The Old T-Shirt - an Encrypted Message - (Kisah Kaos Kutung)

"Kaos ini aku beli di Bandung, waktu aku masih bekerja di perusahaan yang dulu" "Mungkin sudah lebih dari 7 tahun yang lalu". Aku pegangi kaos itu, sudah lusuh, warnanya pudar dimakan waktu, sepasang lengannya sudah dibuntungi. "Biarin, pokoknya mau aku bawa".  Dua hari menjelang keberangkatanku, aku memutuskan membawa kaos itu. 

Aku mengepak barang-barang di koper, bersiap berangkat. kaos kutung itu ikut denganku, aku selipkan di koper, di tumpukan paling bawah, karena aku nggak mau kaos ini ketinggalan. Selama transit di kota lain selama beberapa hari, kaos itu diam menghuni tempat paling aman. Hingga seminggu kemudian, aku sampai di tempat tujuan.
Sesampai di tempat aku menetap, aku bongkar koperku, aku tersenyum memandang kaos kutung itu," hm, kamu tidak tertinggal.."

Di kamar kaos selalu nampak, kadang-kadang aku gantung, kadang-kadang aku pakai, kadang-kadang aku biarkan terserak, dan kadang-kadang aku lempar ke sudut kamar bila aku kesal. Namun akhir-akhir ini, berminggu-minggu, kaos kutung itu kubiarkan tergeletak. Aku begitu sibuk hingga tak pernah tidur di kamarku sendiri. 

Tapi malam ini panas sekali, kaos-kaos yang lain entah kemana, tinggallah kaos itu. Aku pakai, aromanya khas karena memang tak pernah kucuci sama sekali semenjak kubawa dulu. Yang penting gak bau apek.
Sambil duduk ditemani segelas kopi kupandangi kaos ini, buntung, sengaja di buntungi, tidak indah sama sekali,  tapi aku menyukainya. Seperti hidup ini, tak sempurna, tapi aku bahagia.


Jumat, 06 April 2012

Candidasa, Suatu Sore Tentangmu


Waktuku tinggal setengah jam untuk berkemas, tapi tak juga aku beranjak dari lantaiku yang dingin. Badanku masih terasa meriang, mungkin tumpukan rasa lelah,  over exhausted katamu. Entah apa artinya. Sebenarnya, kalau bukan karena nama pantai itu yang begitu menggelitik memanggil-manggil jiwaku, mungkin aku memilih membatalkan janji kita hari ini. Pengen tidur saja. Kuambil sebutir pain killer dan sebotol vitamin C, mudah-mudahan bisa mendongkrak staminaku hari ini. Harus berangkat kesana. Harus.
Aku tidak tahu pasti kenapa aku sangat ingin kesana. Mungkin berawal dari 25 tahun yang lalu, ketika masih seusia anakku, membaca di sebuah majalah cerpen pinjaman dari Miming tanteku, entah apa judulnya, ceritanyapun aku sudah tak ingat lagi. Hanya nama Candidasa itu begitu kuat melekat di otakku, entah kenapa. Aku harus kesana. 

Ketika waktu menunjukkan tengah hari, kami berangkat. Melewati beberapa banjar yang tengah sibuk mempersiapkan sebuah upacara, aku baru teringat, hari ini purnama, umat Hindu mempersiapkan berbagai macam upacara sembahyang. Melewati para ibu yang menyunggi berbagai macam sesaji, bapak-bapak terlihat juga sibuk, ada yang menuntun babi, mungkin akan disembelih untuk membuat babi guling yang khas disini. (hehehe, babi sepertinya gak disembelih ya..)

Agenda agak di ubah, karena masih terlalu siang, kami ke obyek wisata lain dulu. Baru sekitar jam lima sore, kami parkir di pinggir Pantai Candidasa. Tak banyak pengunjung, tak ada bule disini, good! kataku. Ini pantaiku.

"Akhirnya aku disini!!". Pantai yang hidup dalam benakku berpuluh tahun lamanya ada di depan mataku. Bukan pantai pasir putih seperti kebanyakan pantai yang dijadikan obyek wisata, bukan pula tempat wisata andalan yang dipenuhi tourist, sekilas sangatlah biasa saja. Bergegas aku berjalan,menuju bibir pantai. Duduk di sebongkah batu disini dan menghamparkan pandanganku ke ceruk pantai sebelah timur, ada dua tempat semacam gubuk , lalu lebih ke timur lagi ada dua tiga gugusan batu karang, menambah keindahan Candidasa di mataku, semua penjuru terasa harmonis,  kokoh, indah, sepi dan damai. Aku  jatuh cinta pada pantai ini. 

Candidasa, begitu kuat perasaan ini terikat pada pantai ini, satu romantisme menyelusup ke sela-sela hatiku, aku tak tahu sebabnya, mungkin suatu saat nanti aku akan tahu. Yang jelas akan ada satu kisah yang aku pahatkan di bongkahan batu-batu pantai. Tunggu aku Candidasa, aku akan datang lagi dengan kisah indahku.

Minggu, 11 Maret 2012

Madame Kalinyamat, The Power of Love or Revenge ?

Satu legenda dari tanah Jawa, tentang seorang bernama Retna Kencana, putri dari Sultan Trenggana raja kerajaan  Demak, begitu membekas dalam ingatanku. Alkisah, Retna Kencana dinikahkan dengan seorang Pangeran dari negeri seberang yang bernama Pangeran Kalinyamat. Retna Kencana atau Ratu Kalinyamat adalah perempuan tangguh, bukan sebangsa putri keraton yang lemah gemulai yang hanya bisa ngadi salira saja, namun dia adalah seorang partner tangguh bagi Pangeran Kalinyamat suaminya. Pendamping yang sepadan untuk suaminya yang menduduki jabatan sebagai Bupati Jepara. Namun sayangnya, takdir berbicara lain, dalam sebuah misi pengusutan kematian Sunan Prawata, kematian tragis memisahkan mereka. Dalam keputus asaan kehilangan orang yang sangat dicintainya, maka sang Ratu mengasingkan diri kedalam pertapaan sunyi, hingga menjadi legenda yang masih terdengar hingga di era millennium ini.

Bukan romantisme kisah cinta Pangeran dan Ratu Kalinyamat yang menggores jiwaku, namun melihat betapa, perempuan setangguh Ratu Kalinyamat yang bahkan merupakan pemimpin hebat yang dalam perjalanannya kemudian banyak berbuat untuk bangsa ini dalam mengenyahkan penjajah Portugis dari bumi nusantara itupun bisa terpuruk manakala kehilangan seseorang yang dicintainya. Betapa satu kehilangan, kesedihan yang mendalam bisa sangat mengguncang seseorang setangguh apapun dia.  

Begitupun dalam perjalananku kali ini, tak bisa aku pungkiri, kehilangan dan kesedihan telah membawaku ke Pulau Dewata ini, mengasingkan diri. Kamar ini menjadi rumah pertapaan bagiku, sudah duapuluh hari aku meninggalkan duniaku, sahabat-sahabatku, anak anakku. Berteman dengan suara desau angin, lolong anjing dan suara jengkerik. Namun satu hal yang masih aku yakini, ada rencana Tuhan Yang Maha Baik dibalik semua galau dan hampa ini, aku sedang menunggu panen raya kebahagiaan setelah semua sedih aku tuntaskan disini. Semoga.

Rabu, 15 Februari 2012

Totally Venus

"Laki-laki dan perempuan berpikir secara berbeda, memahami masalah secara berbeda, menekankan pentingnya segala sesuatu secara berbeda, dan mengalami dunia di sekelilingnya lewat saringan yang sangat berbeda" (Dr Marianne J Legato)

Awalnya adalah obrolan yang manis antara aku dan dia, sekedar mengkompromikan hal-hal remeh temeh dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. Namun akhirnya merembet kemana-mana, mungkin aku terlalu detail dengan pernik-pernik hidup dan satu hubungan. Sambil ngobrol aku membaca majalah yang aku beli tadi siang, tiba-tiba saja saat membaca satu artikel aku teringat satu fakta yang mengganggu ketenangan otakku. Tanpa ba bi bu, langsung aku serang dia dengan pertanyaan tajam, "Sebenarnya ada apakah antara kamu dan dia, tak mungkin dia begitu bila tak pernah ada apa-apa." tanyaku. "Aku kan sudah pernah bilang, gada apa-apa, berapa kali aku harus mengulanginya?" jawabnya. "Terserah mau berapa kali." Jawabku ketus, lalu lanjutku, "Atau jangan-jangan kau bilang begitu juga ke dia bila dia bertanya padamu tentang aku ya?". "Sudahlah, kalau cuma mau membahas tentang ini aku nggak mau." katanya, " jadi berarti  selama ini kamu gak pernah dengerin kata-kataku." Serasa bertambah terbakar dada ini, emosi semakin meluap-luap. Pasti begini-pasti begitu, pikirku, mungkin sinapsisku korslet. Untungnya aku masih sedikit ada teori yang nyelip di otakku, sekedar mengerem hasrat menuruti perasaanku yang merusak. Masih ada sedikit pikiran jernih, kalau  memang dia begitu, lantas kenapa dia rela meninggalkan semua, untukku, dan membuang semua yang menggangguku. Akhirnya setelah beberapa lama terdiam aku buka suara, "Sudahlah, aku ikut kata-katamu sajalah, kebenaran adalah waktu. Biarkan waktu yang menguji kita.". "Iya, itu kamu tahu, tapi kenapa kamu masih tanya dan tanya lagi? Sekali waktu kamu bisa ngerti, tapi lain waktu di ulang dan diulang terus!" Jawabnya kesal. Melihat dia cemberut dan kesal, aku malah jadi geli. Karena sebenarnya aku juga hanya menuruti sekelebat bayangan hasil reka-reka aku sendiri. Aku masih sangat menyayangi dia, dan tak ingin dia pergi. Aku tahu, mungkin dalam kepalanya dia berpikir, kenapa setiap hal kecil selalu menjadi drama besar? kenapa harus meributkan segala sesuatunya? Dan kenapa disaat semua sudah selesai ia tidak bisa melupakannya? 
Tak ingin dia berlama-lama kebingungan dengan apa yang terjadi, aku segera menjawab pertanyaannya dengan santai, "Because I come from Venus". Akhirnya dia tersenyum dan berkata, "Yap! and Venus never listening!",  " That's mean I'm a real Venus". " Yes!! Totally Venus.. udah aku mau tidur, jangan diganggu."

Pertengkaran atau perdebatan-perdebatan kecil seperti diatas dari satu segi adalah pertengkaran yang lumrah dalam satu hubungan. Namun dilihat dari sisi lain, hal itu mewakili dengan sempurna apa yang begitu sering menjadikan salah paham diantara laki-laki dan perempuan. 

Mungkin dalam satu pola relationship, hubunganku dan dia bukanlah hubungan yang buruk, kami merasa bahwa kami memang diciptakan untuk melengkapi satu sama lain, dan sangat-sangat saling membutuhkan dan saling bergantung, akan tetapi saat terjadi pertengkaran aku dan dia terkadang merasa bahwa kami terasing satu sama lain. Kenapa ini bisa terjadi? 

Anatomi pertengkaran :

Di banding laki-laki, perempuan memiliki lebih banyak materi abu-abu di bagian depan korteks otaknya, tepat di belakang mata. Dimana area ini adalah pusat yang mengendalikan perilaku kompleks manusia. Perempuan juga memiliki lebih banyak hubungan diantara kedua sisi otaknya, yang bisa menjelaskan bagaimana ia memproses sejumlah arus informasi berbeda pada saat bersamaan. Misalnya perempuan masih bisa melakukan kegiatan memasak sambil pikirannya tak berhenti menganalisis pertengkarannya. Sedangkan laki-laki, hanya mengaktifkan satu bagian sisi otaknya pada saat berfikir atau konsentrasi pada satu hal, mengidentifikasi masalah, mendapat jalan keluar dan terus bergerak maju.
Kadar estrogen yang tinggi pada perempuan juga memperpanjang durasi sekresi hormon stress, kortisol, sehingga perempuan merasa lebih stress dibanding laki-laki pada saat mendapati masalah yang sama. Estrogen juga mengaktifkan bidang saraf yang lebih luas didalam otak perempuan, hal ini mengaktifkan sel yang memberi perempuan suatu jaringan yang diperlukan untuk membentuk lebih banyak memori terperinci mengenai urutan-urutan suatu kejadian. Jadi kadar hormon perempuan menjamin bahwa perempuan itu benar-benar memiliki memori yang lebih terperinci dan kuat atas suatu kejadian dibanding laki-laki.
Perbedaan lain adalah dari cara bertengkar. Otak kiri yang merupakan pusat kemampuan berbahasa, pada perempuan lebih banyak memiliki materi abu-abu dibanding pada laki-laki. Faktor inilah yang menjelaskan bagaimana tuduhan-tuduhan yang dilontarkan perempuan sarat mengalir sedangkan laki-laki cenderung  bereaksi diam. 
Saat seorang perempuan memproses setiap pemicu stress, otaknya mengirimkan sinyal untuk hormon yang membantuya mengatasi stress itu, dengan cara meningkatkan tekanan darahnya dan mendorong jantungnya berdetak dengan tempo dua kali lipat daripada saat normal. Hormon itu biasa disebut oksitosin. Kadar hormon ini akan tinggi saat perempuan menghadapi tekanan (menjadikan Oksitosin suatu hormon spesifik gender), dan merupakan alat yang kuat untuk membantu perempuan menghadapi tantangan.  Sedangkan laki-laki memilih "hadapi atau lari".

Mars dan Venus

Menurut John Gray, perbedaan perbedaan gender akan mudah dipahami dan dipecahkan dengan sense of humor. Bagi laki-laki (diumpamakan adalah makhluk dari Mars), bila tidak bisa memecahkan persoalan, solusinya adalah lupakan dan jalan terus. sedangkan pada perempuan (diumpamakan makhluk dari Venus), bila menghadapi masalah dan tak bisa memecahkan persoalannya paling tidak bisa membicarakannya. Jadi bagi kaum lelaki, apabila seorang perempuan berbicara panjang lebar  bukan berarti  dia ingin membuat nya kesal, tapi itu hanyalah disebabkan karena bagi perempuan begitulah caranya menghadapi persoalan. 

"Arti diri seorang laki-laki ditentukan oleh kemampuannya untuk mendapatkan hasil, sedangkan arti diri bagi perempuan ditentukan oleh perasaannya dan kualitas-kualitas hubungan-hubungannya" (John Gray Ph.D)

Ketika perempuan merasa dicintai, rasa harga dirinya naik dan turun seperti gelombang. Ketika suasana hatinya benar-benar bagus, ia akan mencapai puncak gelombang, tapi kemudian suasana hatinya itu bisa berubah dan gelombangnya langsung surut. Surutnya itu hanya sementara, setelah sampai dasar terdalam, tiba-tiba suasana hatinya akan berubah dan ia akan enak lagi. secara otomatis gelombangnya akan naik lagi. Ketika gelombang perempuan mulai pasang, ia merasa memiliki banyak cinta untuk diberikan, tapi kalau sedang surut ia merasakan sesuatu yang kosong di dalam dirinya dan perlu diisi dengan cinta. Pada saat itu perempuan perlu membicarakan persoalan-persoalannya dan ingin di dengarkan serta dipahami.  Meskipun laki-laki tak sungguh mengerti, ia bisa mendukung wanita dengan memberikan cinta, kesabaran dan pengertian. Walaupun cinta dan dukungan dari laki-laki tidak bisa memecahkan masalah perempuan, namun cinta dan dukungan bisa memberikan rasa aman sampai si wanita siap naik lagi ke puncak gelombang.

"Kalau kita ingat bahwa pria berasal dari Mars dan wanita berasal dari Venus, maka segalanya akan mudah dipahami"
(John Gray Ph.D)
Reff : 
Dr Marianne J. Legato, Why Men Never Remember & Women Never Forget, Gramedia Pustaka Utama, 2006
John Gray Ph.D, Truly Mars & Venus, Gramedia Pustaka Utama, 2004

@thanks for always understand, knowing, caring and lovingly ^_^

Kamis, 09 Februari 2012

Mendiamkan Air Keruh

"Jika seseorang bicara atau bertindak dengan pikiran jahat, kesengsaraan mengikutinya. Bila seseorang berpikir atau bertindak dengan pikiran jernih, kebahagiaan mengikutinya seperti bayangan yang tak pernah meninggalkannya"      
~Buddha Gautama (563-483 M)~

Dalam setiap pergaulan manusia, tentunya akan menjumpai berbagai macam pengalaman. Baik pengalaman baik, buruk, manis ataupun pahit. Sikap orang lain terhadap kita pun tak bisa kita harapkan sama seperti sikap kita bila menghadapi masalah tertentu. Adakalanya seseorang bersikap negatif yang begitu kuat yang sangat mengganggu, sehingga mempengaruhi kehidupan anda, anda pun berpikir bagaimanakah caranya melepaskan diri dari sikap negatifnya tersebut. 

Untuk melepaskan diri dari sikap negatif oranglain dan agar tidak terpengaruh olehnya, ingatlah akan adanya medan magnet perasaan yang mengelilingi setiap orang. Ada medan cinta, kegembiraan, kebahagiaan, rasa syukur, gairah, dan ada medan negatif seperti amarah, putus asa, frustasi, kebencian, kekhawatiran, dendam, dan sebagainya. 

Seseorang yang dikelilingi oleh medan magnet amarah kondisinya sama sekali tidaklah nyaman, sehingga bila anda berinteraksi dengan mereka, sudah dapat dipastikan kemarahan itu akan mengarah kepada anda. Mungkin awalnya orang tersebut tidak bermaksud menyakiti anda, akan tetapi, karena medan magnet kemarahan tersebut, maka orang itu tidaklah dapat melihat apapun yang positif sewaktu memandang dunia lewat amarahnya. Dan karena hanya melihat kemarahan maka kemungkinan akan melampiaskan kemarahan kepada siapapun yang dijumpainya. 
Bila anda merasa sangat senang, maka medan magnet anda, menciptakan perisai yang tidak dapat ditembus dengan hal negatif apapun. Maka sikap negatif apapun yang dilampiaskan orang kepada anda tidak akan mampu menyentuh anda, dan akan berbalik kembali kepada pemilik medan magnet negatif tersebut. 
Sebaliknya jika seseorang melampiaskan sikap negatif kepada anda dan anda merasakan apa yang mereka lakukan (kenegatifan tersebut), anda harus tahu bahwa perasaan itu harus dibuang. Hanya ada satu hal yang perlu dilakukan bila itu terjadi, yaitu mencari cara untuk berlalu secara sopan, supaya andaa dapat memulihkan diri dengan perasaan yang menyenangkan. Dua medan negatif berlipat ganda secara cepat, bila keduanya bertemu satu sama lain, dan tak akan membuahkan satu kebaikanpun. Anda akan tahu soal ini dari pengalaman hidup anda, bahwa dua medan negatif yang bersatu bukanlah pemandangan yang indah!

"Air yang keruh, bila didiamkan akan jernih kembali"   ~Lao Tzu (Abad ke 6SM)~
(Disarikan dari : The  Power  by   Rhonda Byrne

Minggu, 05 Februari 2012

Selembar Pesan dalam Kebisuan Malam

Suara kendaraan bermotor memecah kesunyian malam, membelah hutan sepanjang jalan setapak menuju Rumah Kayu. Tak butuh waktu lama, di halaman depan dia berhenti, seorang lelaki,  turun dari kendaraannya. Disulutnya sebatang rokok, sekedar untuk membunuh gelisahnya. sekilas nampak gurat kegalauan di wajahnya, namun hanya sekilas, karena wajahnya segera tenggelam ditelan gulita malam. pelan-pelan dia melangkah, beruntung semburat cahaya rembulan masih bisa menerobos rerimbunan dedaunan, cukup untuk menuntun langkahnya menuju beranda depan Rumah Kayu. Ada pelita menyala berkelip-kelip, secercah harap, mudah-mudahan pemilik pelita itu masih ada didalam sana. Segera diketuknya pintu depan seraya mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum", "Kulonuwun...", tak ada jawaban, kembali hanya ada kesunyian dan suara burung malam. Sebenarnya dia tahu, bila dia kesini agak siang tadi, dia pasti menemukan pemilik pelita itu, namun lelaki itu ragu pada dirinya sendiri apakah ia memiliki cukup kekuatan untuk bertemu setelah apa yang dia lakukan pada perempuannnya. Mungkin bila bertemu, sejuta makian dan sumpah serapah akan dia terima sebagai balasan setimpat terhadap apa yang dia lakukan. Namun seiring malam menjelang, keinginan untuk bertemu itu semakin kuat, dan semakin kuat. Tak berfikir lagi, lelaki itu segera bergegas kesini, walaupun sekedar untuk melihat jejak kehadiran perempuannya. 

Kosong, sunyi, seperti hatinya saat ini. Dibukanya pintu depan, tak terkunci, diambilnya satu kursi dibawanya ke dekat jendela depan. Ditatapnya langit yang ditaburi bintang gemintang, gemerlap, namun sunyi, seperti hidupnya, selalu berada diantara keramaian namun kesunyian adalah penghuni hatinya. 

Lelaki itu tahu, perempuannya tak pernah bisa menerima alasan-alasan yang dia kemukakan saat dia harus pergi. Kemarahan dan kepedihan telah terjalin sedemikian dalam di hati perempuannya, dan lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa, selain hanya memohon maaf dan memohon pada Gusti akan keinginan hatinya yang sebenarnya. "Aku tak mungkin memilih, semua serba gelap untukku, aku harus membahagiakan banyak orang dan mengorbankan kebahagiaanku sendiri." itu alibi yang selalu dia kemukakan pada perempuannya, dan dia tahu, dia membawa perempuannya hancur bersama keputusannya. Kini, kata-kata tak pernah ada yang cukup untuk menggambarkan penyesalannya. Kebenaran perasaan akhirnya tak kuasa dibendungnya. Lelaki itu tak pernah menjawab sejuta tanya dan lontaran kekecewaan perempuannya. "Kebenaran perasaanku memilih kebisuan sebagai jalan termudah untuk menyampaikan makna bagi hatiku yang penuh cinta untukmu, perempuanku"

Ingatannya kembali kepada saat awal pertama kali berjumpa, lalu mengenalnya selama bertahun-tahun, dan dia tahu perpisahan akan tiba, namun lelaki itu sangat yakin bahwa perpisahan takkan sanggup memisahkan cinta mereka. Lelaki itu beranjak dari kursinya menuju meja di beranda depan, dituliskannya sebuah pesan, "Maafkan aku, kekasihku, karena aku berbicara padamu dalam orang kedua. Karena kau adalah diriku yang lain, cantik. Kaulah belahan jiwa, yang tak aku miliki sejak aku dilahirkan di dunia. Maafkan aku kekasihku. Aku tak kuasa atas hidupku sendiri hingga menyakitimu sedemikian hebatnya, namun akan kutebus semua, aku pinta selalu dirimu pada Sang Maha Kuasa untuk bisa berada disisiku melengkapi hidupku, biarlah kuasaNYA yang mengatur pertemuan kita."  

Dimatikan rokok terakhirnya, dan segera meninggalkan kesunyian Rumah Kayu menuju kota dengan penuh harapan atas terjawabnya semua doa-doanya.

@inspired by : The Miracle of Love by Kahlil Gibran

Selasa, 31 Januari 2012

Countdown to Bali

Pulang, dengan sejuta penat. Aku hempaskan tubuhku ke lantai kayu yang keras di teras depan rumah kayu. waktu sudah lewat senja. Hanya ditemani satu lentera yang nyala temaram, yang harus dijaga agar tak padam terkena hembusan angin malam yang mulai bertiup kencang ditingkahi hujan yang turun makin deras. Suara kodok dan jengkerik bersahut-sahutan menimpali suara jatuhnya air dari langit. Aku hanya ingin berbaring disini, diam.

Kabar tadi siang masih terngiang, antara nyata dan tidak berputar-putar di kepalaku. Aku harus meninggalkan pulau ini, meninggalkan rumah ini. Mungkin juga meninggalkan semua kenangan tentangmu. Sebenarnya bukan kabar baru, ini adalah kepastian dari kabar yang pernah aku dapatkan sebelumnya. Sangat berat buatku meninggalkan semua kenangan indah disini, tanah kelahiranku, tanah tempat aku dibesarkan, tanah tempat aku membangun mimpi, juga tempat aku dihempaskan oleh mimpi-mimpiku sendiri. Masih banyak keinginan yang tertunda, masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi disini. Tapi waktuku tak banyak lagi. Aku sudah memutuskan untuk pergi..

Rumah kayu ini belum sempat mewujudkan mimpi kami, namun sudah harus aku tinggalkan, sebuah perjuangan harus aku tempuh. Terasa begitu hampa dan sendiri. Mataku menerawang jauh, benarkah aku kesana untuk sebuah tugas, sebuah perjuangan? apakah bukan karena aku ingin lari dari semua kenyataan, lari dari segala pedih dan luka yang kau berikan? Entahlah. Sebuah kepergian yang dipaksakan, sebuah kepergian yang harus aku tempuh, sebuah keputusan akan masa depan, sebuah ketegasanku akan kita. 

Menghitung sisa-sisa hari aku masih ada disini. Aku pasti akan kehilangan semuanya, semuanya. Aku pasti akan merindukan gemericik air sungai di depan sana, kicau prenjak sepanjang pagi, semuanya, semuanya.... 


Minggu, 29 Januari 2012

Tentang Sepi yang Kau Tak Pernah Tahu

Matahari belum menampakkan sinarnya, hanya semburat kekuningan di ufuk timur ketika aku sampai di tempat itu. Hawa pagi ini dingin menusuk sampai ke dalam tulang, kurapatkan jaket sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan, menuju suatu tempat dimana aku pernah melewati hari-hari yang sangat indah bersamamu. Rumah kayu. Aku berharap bisa menemukanmu disana.

Gemericik air sayup sayup mulai terdengar, pertanda semakin dekat aku dengan rumah kayu. jantungku berdegup semakin kencang, cemas, ragu, bahagia, khawatir, campur aduk menjadi satu. Akankah aku nanti bertemu denganmu di sana?? Satu belokan di depan, lalu nampaklah olehku pohon sawo kecik yang meneduhi halaman depan rumah kayu, sepi, seperti biasanya. Aku terus melangkah. Berharap keajaiban, dirimu adaa disana.

Sejenak, sampailah aku disamping rumah, aku berhenti, kuamati pohon sawo kecik yang kau tanam mulai berbuah, sebagian jatuh ke tanah tak ada yang memunguti. semak belukar dan rumput liar mulai tumbuh di mana-mana, pertanda kau pun tak pernah lagi singgah kesini. Rumah ini menyimpan sejuta cerita, ketika masih ada asa akan kita. Rumah ini menyimpan sejuta sukacita, ketika kita melewati hari-hari begitu bahagia, membagi tawa dan keceriaan. Namun akhirnya dirumah ini jugalah kita harus mengakhiri semuanya, melangkah keluar meninggalkan semua harap dan cinta, pergi mengambil jalan masing masing membawa sejuta gundah gulana. Aku berdiri, melangkah menuju beranda depan, meja, asbak dan puntung rokokmu diatasnya masih dalam posisi sama seperti waktu kami memutuskan pergi dahulu, masih sama. Berarti kau tak pernah lagi menengok rumah ini. Aku menemukan keajaiban itu tak ada, dirimu tak ada disini. 

Kubuka pintu, kuhamparkan pandangan kedalam, kosong, tiba-tiba rasa sepi menyergapku, hampa yang begitu dalam. Aku tak tahu lagi rasa apa yang aku rasakan. Tubuhku lunglai, aku terduduk di lantai kayu di sudut ruang depan. Aku ingin berteriak, memanggil namamu, namun suaraku tak mampu lagi mengeja namamu, aku menangis, menangis sejadinya tanpa kau pernah tahu. 



Minggu, 22 Januari 2012

Sebuah Penantian Panjang

Tepat tengah malam, perempuan itu terbangun ketika aku datang berkunjung, rupanya dia tertidur di beranda rumah kayunya. Dia menggigil kedinginan. Angin malam begitu keras menerpa, dan hujan rintik-rintik menambah dingin udara. Semalaman, masih juga dia setia menunggu kekasihnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi datang mengunjunginya. Dia selalu percaya, kekasihnya pasti akan datang padanya walaupun entah kapan. Sebuah keyakinan yang membuatku kagum sekaligus heran. Betapa setianya dia pada sesuatu yang tak pasti. Aku ulurkan jaket yang aku kenakan padanya untuk sekedar menepis dinginnya malam.
Aku beranjak ke halaman rumahnya, yang berada di tepi sungai dan dikelilingi pepohonan yang cukup rapat, aku ambil beberapa kayu bakar dan mulai menyalakan api unggun. Damai sekali disini, sesekali terdengar suara burung malam diselingi suara katak diantara gemericik air dan desau angin yang menggesek dedaunan. Api mulai menyala menghangatkan badan, perempuan itu beringsut menyodorkan secangkir teh hijau kesayangannya, kami mulai bercakap-cakap, "Mbakyu suka sekali teh hijau ya?" aku memulai percakapan. "Teh hijau selalu mengingatkanku pada dia" Jawabnya. Mbakyu ini pasti sangat mencintai kekasihnya. "Mbakyu, apakah Mbakyu tidak kesepian di rumah ini sendiri?" aku memberanikan diri bertanya. "Sepi adalah sahabatku, dalam sepi aku menemukan keindahan sebuah penantian, tak tergambarkan olehku bagaimana nanti bahagianya bila dia datang". Trenyuh aku mendengarnya, karena aku tahu, kekasihnya takkan pernah datang, beberapa tahun yang lalu kekasih yang begitu setia menemani hari-harinya tiba-tiba meninggalkan dirinya untuk menjalani hidupnya dengan perempuan lain. "maaf, apakah tidak sebaiknya Mbakyu membuka diri untuk kekasih yang lain, bukankah diluar sana masih banyak harapan?" kataku. "tidak, tak ada yang bisa mengerti dia sebaik aku dan tak ada yang bisa mengerti aku sebaik dia, kami terlahir satu jiwa yang terbelah, kalaupun kami saat ini tak bisa bersama itu hanya karena masih ada tugas yang harus dia selesaikan, dia saat ini tidak bahagia, aku merasakannya tanpa dia mengatakannya padaku, aku merasakannya." mata perempuan itu menerawang, menggenangkan air mata yang segera ia usap. Aku belum pernah melihat kekuatan cinta sebesar ini, hampir aku berfikir, ini cinta, kesetiaan ataukah kebodohan? Perempuan itu melanjutkan kata-katanya, "aku masih teringat ketika terakhir bertemu dengan dia, dia berkata, janganlah bersedih karena cinta yang tak dapat kau raih, cinta ibarat permata yang berkilau dan mengeluarkan cahaya. Kau dapat menikmati keindahannya walau kau tak dapat memilikinya." "Dan Mbakyu meyakini itu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Mbakyu, aku justru menangis melihat dirimu, kau akui atau tidak, dirimu terluka Mbakyu. Kalau bagiku, cinta sudah terkubur sejak tak lagi jujur". Perempuan itu terkejut, terhenyak dan menjawab, "dia jujur padaku, dia menerima cinta lain karena terpaksa". Aku menggelengkan kepalaku, "Mbakyu, kejujuran tetaplah bukan kesetiaan". Perempuan itu terdiam, airmatanya mengalir deras, jiwanya guncang. Masihkah dia harus menanti di Rumah Kayu nya yang sepi?? 

cinta bukanlah tempat dimana kau bisa datang dan pergi, cinta adalah rumah dimana kau datang dan tak pernah pergi

Sabtu, 21 Januari 2012

Perjalanan Tanpa Pemberhentian

Mari kita membayangkan bagaimana rasanya berjalan ke suatu tempat yang jauh, tanpa berhenti untuk beristirahat. Tanpa membawa bekal, tanpa membuat rencana-rencana dimana saja kita akan singgah selama perjalanan kita. Dan tanpa membawa peta peta perjalanan yang sesekali bisa kita tilik sebagai panduan.
Ditambah lagi, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan menyenangkan dengan teman seperjalanan kita. Pasti kita akan merasa jenuh, lelah dan segala perasaan tak nyaman lainnya. Akibatnya, bisa saja kita sampai ke tujuan meskipun dengan sisa tenaga dan kelelahan psikis yang luar biasa. Atau bisa juga, kita gagal dalam perjalanan tersebut dan berhenti di tengah jalan, atau bahkan berbalik pulang. 

Begitupun dengan pernikahan. Pernikahan adalah perjalanan panjang dalam satu fase kehidupan seseorang. Bisa jadi sebuah perjalanan yang menyenangkan, ditempuh dengan penuh gairah, penuh rencana-rencana sehingga setiap tapaknya menjadi pemicu menuju tujuan akhir pernikahan itu sendiri. Setiap halangan dilakoni dengan penuh kerelaan. Sebab kita dan teman seperjalanan menempuh cita-cita dan keyakinan yang sama. Namun bisa juga pernikahan bisa jadi sebuah perjalanan yang membosankan, menurunnya potensi diri dan bahkan kehilangan jatidiri/karakter seseorang demi memuaskan salahsatu pasangan. Bila tetap dibiarkan hal itu akan menjadi bola salju yang menggelinding semakin besar, menjadikan pernikahan hanya sebuah hubungan hampa dua manusia. Betapa menyedihkan.

Kita dan pasangan adalah lakon dari perjalanan panjang bernama pernikahan yang telah kita sepakati untuk dijalani. Biduk yang telah kita tumpangi bersama itu akan berlabuh di samudra kehidupan yang penuh riak ombak, gelombang maupun badai. Pernikahan perlu disapa, nakhoda dan seluruh awaknya perlu mengevaluasi mana yang perlu diperbaiki, mengkomunikasikan semua yang dapa menghambat lajunya perjalanan. Dan yang paling penting jangan sampai ada awak kapal yang melubangi kapal sehingga kapal akan tenggelam. 

Itu semua hanyalah perumpamaan, pengandaian-pengandaian, apabila berguna untuk hidup boleh digunakan, namun bila tidak, lupakan saja. Kita semua masih akan terus belajar dan belajar tentang melewati hidup ini menuju satu tujuan yang lebih baik. Salam.

(sumber : Bukan Sepasang Malaikat, Robiyah Al Adawiyah, penerbit : Afra Sakina, 2011)