Senin, 23 September 2013

Memeluk Masalalu (Dulu)

Dulu pernah indah. Dulu, aku pernah memiliki mimpi bersamanya. Dulu, aku pernah memiliki harapan tinggi bersamanya. Dulu dia pernah datang padaku dengan sejuta manisnya tutur kata. Dulu kami pernah bersama-sama merajut asa. Dan, dia memutuskan pergi bersama yang lainnya. Yang ternyata kekasih lamanya. Dulu aku pernah merasakan sakit yang teramat dalam atas kepergiannya. Dulu, aku menganggapnya pengkhianat cinta. Dulu aku menganggapnya manusia keji. Dulu semua hal adalah buruk tentang dia. 

Dulu adalah serangkaian peristiwa. Terangkum dalam bingkai-bingkai masa lalu. Masa ketika dendam kesumat menyala-nyala. Sumpah serapah membahana. Sakit yang tak terperi, kecewa yang amat dalam. Sakit. Dulu adalah sebuah tanya. Sebuah protes ke alam raya yang tak kunjung menemukan jawabannya. Tuhan, kenapaaaaaaaa!!!!??

Seorang teman mengajakku memaafkannya. Sudah. Mulutku sudah mengucapkannya. Hatiku sudah. Setidaknya, aku merasa sudah memaafkannya. Walaupun sebenarnya aku tak pernah tahu, maaf itu apa, perih itu masih ada. Aku memutuskan terus melanjutkan perjalanan, menapaki sekarang. Mengendap dalam dan tertutup aneka peristiwa. Tertutupi kamuflase kesibukan dunia, tuntutan perut dan materi lainnya. Kesibukan membuat sejenak melupakan apappun yang terjadi dulu. Hingga aku melupakannya. Aku tak pernah menyadari dulu masih selalu terbawa, terbungkus rapih dalam sudut jiwa. 

Dulu sudah lama berlalu. Aku nyaris lupa. Aku merasa semua sudah menjadi beda. Aku tak pernah hirau, ketika percik-percik desiran perih kadangkala muncul. Biarkan saja. Berlalu berlalu berlalu, aku harap semua berlalu dan menjadi indah. Hingga satu ketika, aku sempatkan diriku berkaca. Aku tak bahagia. Aku masih menginginkan bahagianya. Dulu tak sepenuhnya tersimpan rapi. Kadang-kadang geliatnya muncul di permukaan dan menimbulkan kesakitan yang luar biasa. Aku merintih, Tuhan, ajari aku membuang dulu. Aku tak mau dia selalu membebaniku. Namun Tuhan seperti tak mendengarkan aku. Dulu justru semakin sering muncul dan semakin sering menyakitiku. 

Aku terduduk bersama-sama mereka, para pencari damai. Mendengarkan seorang guru, mengajarkan tentang sebuah rahasia. "Ketika kau sangat membenci sesuatu, sebenarnya kau tengah mengundang sesuatu itu datang padamu, semakin kuat kau membencinya, semakin kuat kau mengikat hal yang kau benci itu tetap ada dalam hidupmu." "Lantas, bagaimana cara melepaskannya guru?" "Melepaskan apa yang kau benci, bukan dengan keinginan melepaskannya. Karena semakin kuat keinginanmu melepas, semakin kuat keterikatanmu. Terima apapun yang sudah terjadi dalam hidupmu dengan penuh keikhlasan. Semua terjadi karena memang harus terjadi. Terima dan maafkan. Ikat dirimu pada Tuhan, hanya Tuhan. Biarkan hanya Tuhan yang menguasai hidupmu. Ketika kau sudah mengikatkan dirimu pada Tuhan, takkan ada lagi sesuatupun yang mampu menyakitimu."

Aku terdiam. Luluh. "Tuhan, aku menerima semua jalan hidupku, semua terjadi karena memang harus terjadi. Bukan untuk menguntungkan siapa, bukan untuk merugikan siapa. Semua harus terjadi untuk satu rancanganMU. Aku wayangMU, aku menerima semua jalan ceritamu. Karena aku tahu, semua hal buruk yang menimpaku adalah hasil dari perbuatanku sendiri, karena aku tahu ENGKAU tak pernah menganiaya hambaMU. Maha Kasih, Maha Sayang, Maha Cinta, maafkan aku. Selama ini aku tak pernah menganggapMU benar-benar ada. Hari ini aku bersimpuh, luruh. Peluk aku Tuhan, biarkan aku larut dalam damaiMU, biarkan aku berpegang pada taliMU, selalu bersamaMU." Sesuatu yang hangat menyelinap dalam jiwa, menyelimuti dengan penuh kasih. Kasih yang berbeda, yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Sejatinya kasih, sehingga aku mampu tersenyum, senantiasa tersenyum dan memancarkan kasih yang sama untuk semua.

Jauh di kedalaman, saat ini kulihat dulu dengan penuh kasih, tanpa kebencian. Kubiarkan dulu tetap berada disana apa adanya dan kupeluk dengan penuh kedamaian. Dulu menjadi sebuah pelajaran yang indah disaat aku mampu memeluknya dengan cinta.