Selasa, 31 Januari 2012

Countdown to Bali

Pulang, dengan sejuta penat. Aku hempaskan tubuhku ke lantai kayu yang keras di teras depan rumah kayu. waktu sudah lewat senja. Hanya ditemani satu lentera yang nyala temaram, yang harus dijaga agar tak padam terkena hembusan angin malam yang mulai bertiup kencang ditingkahi hujan yang turun makin deras. Suara kodok dan jengkerik bersahut-sahutan menimpali suara jatuhnya air dari langit. Aku hanya ingin berbaring disini, diam.

Kabar tadi siang masih terngiang, antara nyata dan tidak berputar-putar di kepalaku. Aku harus meninggalkan pulau ini, meninggalkan rumah ini. Mungkin juga meninggalkan semua kenangan tentangmu. Sebenarnya bukan kabar baru, ini adalah kepastian dari kabar yang pernah aku dapatkan sebelumnya. Sangat berat buatku meninggalkan semua kenangan indah disini, tanah kelahiranku, tanah tempat aku dibesarkan, tanah tempat aku membangun mimpi, juga tempat aku dihempaskan oleh mimpi-mimpiku sendiri. Masih banyak keinginan yang tertunda, masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi disini. Tapi waktuku tak banyak lagi. Aku sudah memutuskan untuk pergi..

Rumah kayu ini belum sempat mewujudkan mimpi kami, namun sudah harus aku tinggalkan, sebuah perjuangan harus aku tempuh. Terasa begitu hampa dan sendiri. Mataku menerawang jauh, benarkah aku kesana untuk sebuah tugas, sebuah perjuangan? apakah bukan karena aku ingin lari dari semua kenyataan, lari dari segala pedih dan luka yang kau berikan? Entahlah. Sebuah kepergian yang dipaksakan, sebuah kepergian yang harus aku tempuh, sebuah keputusan akan masa depan, sebuah ketegasanku akan kita. 

Menghitung sisa-sisa hari aku masih ada disini. Aku pasti akan kehilangan semuanya, semuanya. Aku pasti akan merindukan gemericik air sungai di depan sana, kicau prenjak sepanjang pagi, semuanya, semuanya.... 


Minggu, 29 Januari 2012

Tentang Sepi yang Kau Tak Pernah Tahu

Matahari belum menampakkan sinarnya, hanya semburat kekuningan di ufuk timur ketika aku sampai di tempat itu. Hawa pagi ini dingin menusuk sampai ke dalam tulang, kurapatkan jaket sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan, menuju suatu tempat dimana aku pernah melewati hari-hari yang sangat indah bersamamu. Rumah kayu. Aku berharap bisa menemukanmu disana.

Gemericik air sayup sayup mulai terdengar, pertanda semakin dekat aku dengan rumah kayu. jantungku berdegup semakin kencang, cemas, ragu, bahagia, khawatir, campur aduk menjadi satu. Akankah aku nanti bertemu denganmu di sana?? Satu belokan di depan, lalu nampaklah olehku pohon sawo kecik yang meneduhi halaman depan rumah kayu, sepi, seperti biasanya. Aku terus melangkah. Berharap keajaiban, dirimu adaa disana.

Sejenak, sampailah aku disamping rumah, aku berhenti, kuamati pohon sawo kecik yang kau tanam mulai berbuah, sebagian jatuh ke tanah tak ada yang memunguti. semak belukar dan rumput liar mulai tumbuh di mana-mana, pertanda kau pun tak pernah lagi singgah kesini. Rumah ini menyimpan sejuta cerita, ketika masih ada asa akan kita. Rumah ini menyimpan sejuta sukacita, ketika kita melewati hari-hari begitu bahagia, membagi tawa dan keceriaan. Namun akhirnya dirumah ini jugalah kita harus mengakhiri semuanya, melangkah keluar meninggalkan semua harap dan cinta, pergi mengambil jalan masing masing membawa sejuta gundah gulana. Aku berdiri, melangkah menuju beranda depan, meja, asbak dan puntung rokokmu diatasnya masih dalam posisi sama seperti waktu kami memutuskan pergi dahulu, masih sama. Berarti kau tak pernah lagi menengok rumah ini. Aku menemukan keajaiban itu tak ada, dirimu tak ada disini. 

Kubuka pintu, kuhamparkan pandangan kedalam, kosong, tiba-tiba rasa sepi menyergapku, hampa yang begitu dalam. Aku tak tahu lagi rasa apa yang aku rasakan. Tubuhku lunglai, aku terduduk di lantai kayu di sudut ruang depan. Aku ingin berteriak, memanggil namamu, namun suaraku tak mampu lagi mengeja namamu, aku menangis, menangis sejadinya tanpa kau pernah tahu. 



Minggu, 22 Januari 2012

Sebuah Penantian Panjang

Tepat tengah malam, perempuan itu terbangun ketika aku datang berkunjung, rupanya dia tertidur di beranda rumah kayunya. Dia menggigil kedinginan. Angin malam begitu keras menerpa, dan hujan rintik-rintik menambah dingin udara. Semalaman, masih juga dia setia menunggu kekasihnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi datang mengunjunginya. Dia selalu percaya, kekasihnya pasti akan datang padanya walaupun entah kapan. Sebuah keyakinan yang membuatku kagum sekaligus heran. Betapa setianya dia pada sesuatu yang tak pasti. Aku ulurkan jaket yang aku kenakan padanya untuk sekedar menepis dinginnya malam.
Aku beranjak ke halaman rumahnya, yang berada di tepi sungai dan dikelilingi pepohonan yang cukup rapat, aku ambil beberapa kayu bakar dan mulai menyalakan api unggun. Damai sekali disini, sesekali terdengar suara burung malam diselingi suara katak diantara gemericik air dan desau angin yang menggesek dedaunan. Api mulai menyala menghangatkan badan, perempuan itu beringsut menyodorkan secangkir teh hijau kesayangannya, kami mulai bercakap-cakap, "Mbakyu suka sekali teh hijau ya?" aku memulai percakapan. "Teh hijau selalu mengingatkanku pada dia" Jawabnya. Mbakyu ini pasti sangat mencintai kekasihnya. "Mbakyu, apakah Mbakyu tidak kesepian di rumah ini sendiri?" aku memberanikan diri bertanya. "Sepi adalah sahabatku, dalam sepi aku menemukan keindahan sebuah penantian, tak tergambarkan olehku bagaimana nanti bahagianya bila dia datang". Trenyuh aku mendengarnya, karena aku tahu, kekasihnya takkan pernah datang, beberapa tahun yang lalu kekasih yang begitu setia menemani hari-harinya tiba-tiba meninggalkan dirinya untuk menjalani hidupnya dengan perempuan lain. "maaf, apakah tidak sebaiknya Mbakyu membuka diri untuk kekasih yang lain, bukankah diluar sana masih banyak harapan?" kataku. "tidak, tak ada yang bisa mengerti dia sebaik aku dan tak ada yang bisa mengerti aku sebaik dia, kami terlahir satu jiwa yang terbelah, kalaupun kami saat ini tak bisa bersama itu hanya karena masih ada tugas yang harus dia selesaikan, dia saat ini tidak bahagia, aku merasakannya tanpa dia mengatakannya padaku, aku merasakannya." mata perempuan itu menerawang, menggenangkan air mata yang segera ia usap. Aku belum pernah melihat kekuatan cinta sebesar ini, hampir aku berfikir, ini cinta, kesetiaan ataukah kebodohan? Perempuan itu melanjutkan kata-katanya, "aku masih teringat ketika terakhir bertemu dengan dia, dia berkata, janganlah bersedih karena cinta yang tak dapat kau raih, cinta ibarat permata yang berkilau dan mengeluarkan cahaya. Kau dapat menikmati keindahannya walau kau tak dapat memilikinya." "Dan Mbakyu meyakini itu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Mbakyu, aku justru menangis melihat dirimu, kau akui atau tidak, dirimu terluka Mbakyu. Kalau bagiku, cinta sudah terkubur sejak tak lagi jujur". Perempuan itu terkejut, terhenyak dan menjawab, "dia jujur padaku, dia menerima cinta lain karena terpaksa". Aku menggelengkan kepalaku, "Mbakyu, kejujuran tetaplah bukan kesetiaan". Perempuan itu terdiam, airmatanya mengalir deras, jiwanya guncang. Masihkah dia harus menanti di Rumah Kayu nya yang sepi?? 

cinta bukanlah tempat dimana kau bisa datang dan pergi, cinta adalah rumah dimana kau datang dan tak pernah pergi

Sabtu, 21 Januari 2012

Perjalanan Tanpa Pemberhentian

Mari kita membayangkan bagaimana rasanya berjalan ke suatu tempat yang jauh, tanpa berhenti untuk beristirahat. Tanpa membawa bekal, tanpa membuat rencana-rencana dimana saja kita akan singgah selama perjalanan kita. Dan tanpa membawa peta peta perjalanan yang sesekali bisa kita tilik sebagai panduan.
Ditambah lagi, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan menyenangkan dengan teman seperjalanan kita. Pasti kita akan merasa jenuh, lelah dan segala perasaan tak nyaman lainnya. Akibatnya, bisa saja kita sampai ke tujuan meskipun dengan sisa tenaga dan kelelahan psikis yang luar biasa. Atau bisa juga, kita gagal dalam perjalanan tersebut dan berhenti di tengah jalan, atau bahkan berbalik pulang. 

Begitupun dengan pernikahan. Pernikahan adalah perjalanan panjang dalam satu fase kehidupan seseorang. Bisa jadi sebuah perjalanan yang menyenangkan, ditempuh dengan penuh gairah, penuh rencana-rencana sehingga setiap tapaknya menjadi pemicu menuju tujuan akhir pernikahan itu sendiri. Setiap halangan dilakoni dengan penuh kerelaan. Sebab kita dan teman seperjalanan menempuh cita-cita dan keyakinan yang sama. Namun bisa juga pernikahan bisa jadi sebuah perjalanan yang membosankan, menurunnya potensi diri dan bahkan kehilangan jatidiri/karakter seseorang demi memuaskan salahsatu pasangan. Bila tetap dibiarkan hal itu akan menjadi bola salju yang menggelinding semakin besar, menjadikan pernikahan hanya sebuah hubungan hampa dua manusia. Betapa menyedihkan.

Kita dan pasangan adalah lakon dari perjalanan panjang bernama pernikahan yang telah kita sepakati untuk dijalani. Biduk yang telah kita tumpangi bersama itu akan berlabuh di samudra kehidupan yang penuh riak ombak, gelombang maupun badai. Pernikahan perlu disapa, nakhoda dan seluruh awaknya perlu mengevaluasi mana yang perlu diperbaiki, mengkomunikasikan semua yang dapa menghambat lajunya perjalanan. Dan yang paling penting jangan sampai ada awak kapal yang melubangi kapal sehingga kapal akan tenggelam. 

Itu semua hanyalah perumpamaan, pengandaian-pengandaian, apabila berguna untuk hidup boleh digunakan, namun bila tidak, lupakan saja. Kita semua masih akan terus belajar dan belajar tentang melewati hidup ini menuju satu tujuan yang lebih baik. Salam.

(sumber : Bukan Sepasang Malaikat, Robiyah Al Adawiyah, penerbit : Afra Sakina, 2011)