Senin, 01 April 2013

Hening Jiwa

Lahir, hidup. Butiran demi butiran molekul oksigen merasuki paru-paru, lalu dikeluarkan bercampur karbon sisa pernafasan. Menikmati setiap hirup dan hembusan nafas. Terduduk hening di tepian sungai bening yang mengalirkan gemericik air. Paras wajahnya tersaput lembut sinar matahari senja, gurat-gurat lelah tersamar. 

Sabana, hutan dan gurun kehidupan mengajarkan banyak hal. Rumpun ilalang, pepohonan menjulang, butiran demi butiran pasir, desau angin, silau mentari, basahnya rintik hujan, dan setiap jiwa yang dijumpai menyemaikan pelajaran kehidupan, membawa jiwanya bertumbuh. 

Kadang tak yakin tuk mampu beranjak tuk satu pencapaian yang lebih tinggi lagi. Dia terlalu menjiwai bulir-bulir airmata yang menggenang tanpa mampu berucap pada siapapun. Tatkala pedih datang, semua luka-luka lama seakan-akan tercabik-cabik lagi. Terkoyak-koyak oleh angan, perasaan dan segala yang tak kasat mata tapi terasa. 

Lelah berangan-angan, lalu menyerah. Menyerah pada takdir, menyerah pada kuasa Illahi. Memilih untuk mati rasa. Pupuk memang tak berbau wangi dan tanah yang didangir adalah hamparan tanah yang sengaja dibuat terluka. Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini, semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Jiwa ini sedang bertumbuh dan berharap kuat sampai pada sebuah ketenangan yang tak terusik lagi oleh luka ataupun bahagia. Sedih tak mampu lagi membuatnya menitikkan airmata, hanya membuat butiran yang mengilatkan mata,  gembira tak mampu membuatnya tertawa, hanya seutas senyum simpul sederhana.  Kosong, tak ada sedih tak ada gembira. Hening. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar