Kopi hitam, kopi kesukaan kita. Beberapa senja kita lewatkan bersama kopi hitam, kopi kesukaan kita.
Dalam malam ketika bulan mati tak berjejak, hanya gulita dan debur ombak di pantai. Pada sebuah pondok kayu tua, menanti datangmu. Dua cangkir kopi telah terhidang, diseduh beberapa menit lalu. Asapnya menyisakan aroma harum. Kopi hitam, kopi pahit kesukaan kita. Satu waktu terjanji tuk sebuah pertemuan. Menit-menit penantian. Sosok jangkungmu akhirnya datang. Rupanya gelapnya malam tak mampu menutupi pertanda kehadiranmu. Sebagaimana sikap dinginmu yang tak mampu menutupi rasamu padaku. Aku tahu, setengah mati kau berjuang membendungnya, meski acap merembes juga, dan mengalirkan bulir-bulir pertanda yang mengabarkan tentang sebuah rasa. Ingin kuberkata untuk apa bendungan itu kau bangun sebegitu kokohnya? Biarkan saja dia mengalir mengikuti takdirnya, dalam keindahan alur menuju samudera. Namun tak terucap, akupun menyimpan semua kata itu dalam kotak memori saja.
Kupersilahkan kau duduk. Beradu hadap, saling bersitatap. Runtut kata terangkai menjadi sebuah cerita. cerita kerinduan yang bertalu-talu menghentak segenap ruang rasa. Berdesir desir berkesiur membaluri jiwa. Tak perlu kau jelaskan, aku sudah tahu apa yang ada di dalam sana. Aku ada disini untuk setiap keluh kesah jiwamu. Larutlah dalam rengkuh makna.
Hening sesaat, entah apa yang berkecamuk dalam anganmu, kubiarkan kau sejenak lelap dalam dirimu sendiri, dan aku memutar waktu, menyusuri lorong menuju pada tiga tahun silam, saat itu kita duduk dengan posisi yang sama, dan tentu saja dengan dua cangkir kopi hitam, kopi pahit kesukaan kita. Kau datang pada sebuah senja hari, dengan rasa yang sama besarnya. Namun sayang, waktu itu tak ada pintu tak ada jendela kesadaran kubuka. Tak satupun. Tapi kau tetap menggenggam semuanya. Dan akupun terhenyak, tiba pada satu kesadaran, betapa kuatnya kau kunci rasa itu, betapa kokoh kau membendungnya, namun aku yakin dengan kapasitasmu, kemampuanmu mengolahnya, sehingga semua berjalan seakan tak terjadi apa-apa. Kubiarkan berlalu jabat erat yang kau tawarkan, kubiarkan lewat begitu saja indahnya. Aku membuat marka, sekat yang memaksakan aku terdiam dalam kungkungan arogansi tanpa makna.
Tiga tahun semenjak saat itu, sekarang. Aku beruntung ketika jemari cinta hadir melembutkan kerasnya hati yang telah menjadi batu, melepaskan berjuta kubik kemarahan, dendam, iri dan kesombongan. Lalu menggantikannya dengan cahaya dan cinta yang begitu agung. Hati ini meluas, seluas samudera, bersedia menerima apapun yang datang dengan penuh keikhlasan. Kesombongan luluh berganti dengan kerendah hatian nan indah. Dan ketika kaupun datang lagi pada saat yang tepat. Saat samudera jiwa telah mampu menampung luapan apapun.
Aku menatap keatas, asap rokokmu menari-nari penuh sukacita, berbaris acak riang gembira merayakan pertemuan jiwa yang menunggu sekian lama. Beberapa kali tertolak, bak kelahiran dan kematian rasa yang berulang-ulang. Reinkarnasi cinta akhirnya menemukan penyelesaiannya. Semoga.