Jumat, 28 Februari 2014

Kopi Hitam dan Kita

Kopi hitam, kopi kesukaan kita. Beberapa senja kita lewatkan bersama kopi hitam, kopi kesukaan kita. 
Dalam malam ketika bulan mati tak berjejak, hanya gulita dan debur ombak di pantai. Pada sebuah pondok kayu tua, menanti datangmu. Dua cangkir kopi telah terhidang, diseduh beberapa menit lalu. Asapnya menyisakan aroma harum. Kopi hitam, kopi pahit kesukaan kita. Satu waktu terjanji tuk sebuah pertemuan. Menit-menit penantian. Sosok jangkungmu akhirnya datang. Rupanya gelapnya malam tak mampu menutupi pertanda kehadiranmu. Sebagaimana sikap dinginmu yang tak mampu menutupi rasamu padaku. Aku tahu, setengah mati kau berjuang membendungnya, meski acap merembes juga, dan mengalirkan bulir-bulir pertanda yang mengabarkan tentang sebuah rasa. Ingin kuberkata untuk apa bendungan itu kau bangun sebegitu kokohnya? Biarkan saja dia mengalir mengikuti takdirnya, dalam keindahan alur menuju samudera. Namun tak terucap, akupun menyimpan semua kata itu dalam kotak memori saja.

Kupersilahkan kau duduk. Beradu hadap, saling bersitatap. Runtut kata terangkai menjadi sebuah cerita. cerita kerinduan yang bertalu-talu menghentak segenap ruang rasa. Berdesir desir berkesiur membaluri jiwa. Tak perlu kau jelaskan, aku sudah tahu apa yang ada di dalam sana. Aku ada disini untuk setiap keluh kesah jiwamu. Larutlah dalam rengkuh makna.

Hening sesaat, entah apa yang berkecamuk dalam anganmu, kubiarkan kau sejenak lelap dalam dirimu sendiri, dan aku memutar waktu, menyusuri lorong menuju pada tiga tahun silam, saat itu kita duduk dengan posisi yang sama, dan tentu saja dengan dua cangkir kopi hitam, kopi pahit kesukaan kita. Kau datang pada sebuah senja hari, dengan rasa yang sama besarnya. Namun sayang, waktu itu tak ada pintu tak ada jendela kesadaran kubuka. Tak satupun. Tapi kau tetap menggenggam semuanya. Dan akupun terhenyak, tiba pada satu kesadaran, betapa kuatnya kau kunci rasa itu, betapa kokoh kau membendungnya, namun aku yakin dengan kapasitasmu, kemampuanmu mengolahnya, sehingga semua berjalan seakan tak terjadi apa-apa. Kubiarkan berlalu jabat erat yang kau tawarkan, kubiarkan lewat begitu saja indahnya. Aku membuat marka, sekat yang memaksakan aku terdiam dalam kungkungan arogansi tanpa makna.

Tiga tahun semenjak saat itu, sekarang. Aku beruntung ketika jemari cinta hadir melembutkan kerasnya hati yang telah menjadi batu, melepaskan berjuta kubik kemarahan, dendam, iri dan kesombongan. Lalu menggantikannya dengan cahaya dan cinta yang begitu agung. Hati ini meluas, seluas samudera, bersedia menerima apapun yang datang dengan penuh keikhlasan. Kesombongan luluh berganti dengan kerendah hatian nan indah. Dan ketika kaupun datang lagi pada saat yang tepat. Saat samudera jiwa telah mampu menampung luapan apapun. 

Aku menatap keatas, asap rokokmu menari-nari penuh sukacita, berbaris acak riang gembira merayakan pertemuan jiwa yang menunggu sekian lama. Beberapa kali tertolak, bak kelahiran dan kematian rasa yang berulang-ulang. Reinkarnasi cinta akhirnya menemukan penyelesaiannya. Semoga. 

Kamis, 27 Februari 2014

Sore Itu

Jepun Bali warna merah muda itu terlihat mekar bergerombol di pokok-pokok tangkai nun di pucuk atas sana. Aku mendongak menikmati keindahannya. Seluruh permukaan pohon itu nampak memerah muda, daun-daun hijaunya tersamar dibawahnya. Sementara di seberang jalan, pohon yang sama, hanya nampak pucuk-pucuk merah mudanya, tak satupun bunganya mekar. Tadi seseorang telah memanen bunga-bunganya.

Aku termenung, menemukan sesuatu dalam hatiku. Ya, begitulah seharusnya dalam mencintai. Seperti halnya menanam tanaman bunga, memeliharanya, memupuknya dan membiarkannya tumbuh besar dan berbunga, cukuplah dengan memandangi bunga-bunga yang indah bermekaran tanpa merenggutnya dari tempat dimana dia berada, menjadikan diri ini dipenuhi dengan kebahagiaan. Mencintai bukanlah dengan cara merenggut bunga dari tangkainya lalu menjadikannya hiasan di atas vas meja.

Dan kubiarkan semua berjalan apa adanya, seperti biasanya. Kubiarkan cinta mekar dalam jiwaku, seperti membiarkan bunga-bunga jepun itu tetap pada pokoknya. Kupandangi dengan sepenuh jiwa, itu cukup membuatku bahagia. Dan cintapun tersenyum padaku.

Di sore itu

Kamis, 13 Februari 2014

Kubiarkan Memerah Jambu

Sendiri di sudut kamar di penghujung malam, suasana diluar sama seperti biasanya, sunyi, sesekali hanya gemerisik angin menyapu dedaunan pohon mangga di depan rumah dan percakapan beberapa pemuda dengan logat Indonesia timur yang melengking-lengking di belakang rumah. Sudah kucoba merebahkan tubuhku dan tidur, namun gagal, beberapa kali kubalik-balik badanku, tetap saja tak bisa. Setiap kali kupejamkan mata, lengkungan mata yang membentuk bulan sabit ketika tertawa itu selalu saja muncul dengan sangat jelas, lekuk tertawanya, deretan giginya yang rapih, kepulan asap rokoknya, suaranya, ekspresinya, sorot mata teduhnya.. semua... Tuhan kenapa denganku ?? 
Kenapa tiba-tiba menjadi begini ? Inikah yang disebut pengingatan bawah sadar ? Ataukah ini halusinasi? Apakah aku sedang terjebak dalam sebuah kisah fiksi yang menceriterakan tentang lakon kehidupan dengan alur reinkarnasi? Rasa ini... kenapa?

Semenjak hari itu, semenjak pertemuan yang tak direncanakan itu, semua rasa seperti diaduk-aduk. Aku merasa sangat dekat dengannya, seakan-akan dia adalah bagian dari hidupku. Ingatan-ingatan itu berkelebatan. Dan semakin kuat muncul kala kupejamkan mataku. Semua pertemuan yang sebelumnya tak pernah aku anggap penting tiba-tiba muncul silih berganti bak film di layar bioskop. Diiringi dengan rasa aneh, yang aku tak tahu apa namanya. Tuhan, aku tak berani memejamkan mataku. Karena setiap kupejamkan, wajahnya muncul bertubi-tubi. Aku takut, aku tak mau keluar dari dunia itu.

Berjam-jam aku bergelut dengan pengingatan dan rasa yang tiba-tiba menjadi aneh ini. Untuk menghubunginya, aku tak punya cukup nyali. Aku memandangi wajahnya yang terpampang di wall dengan jelas. Jelas sekali, seakan tersenyum denganku. "Hai", sapaku pada gambar itu. Sesal yang tak mungkin kutebus dengan apapun atas sikapku selama ini yang telah menyia-nyiakan perhatiannya, seakan ingin kubayar dengan ini. Entahlah. 

Akhirnya, kuputuskan dengan segenap kesadaran, kubiarkan rasa ini masuk dan terus masuk ke tempat terdalam dalam jiwaku, kubiarkan ada disana dan memerah jambu. Hingga memenuhi jiwaku, dan kubiarkan terus meluas-meluas dan terus meluas, hingga menuju kepada dia yang ada dalam gambaranku kubiarkan memenuhinya dan mewarnainya juga. Karena aku tahu rasa kasih yang paling murni takkan pernah menyakiti siapapun. Kubiarkan dia tenggelam dalam merah jambuku. "Ya, kuijinkan kerinduanmu hadir untukku, kuijinkan semua darimu yang selama ini kutolak ada untukku, kuijinkan dirimu ada bagiku ketika kau menginginkannya ada aku padamu."

"terimakasih Tuhan, aku menjalani saja, semua terjadi atas ijinMU,  itu pasti, dan aku meyakini"

Seiris Sesal

Lebih dari hitungan enam tahun sudah berlalu sejak sore itu. Sore yang mendung dan biasa-biasa saja menurutku. Bukan dirimu tujuanku bertemu, tapi seorang teman yang memang sudah aku kenal dekat sebelumnya. Kita berkenalan, bersalaman, berbincang-bincang. Biasa-biasa saja, tak ada kesan yang lebih. Aku tak sempat memperhatikanmu, karena menurutku dirimu terlalu datar dan terlalu formal untuk dijadikan teman. Jadi aku tak terlalu peduli keberadaanmu. 

Pun ketika tiba-tiba pada suatu siang dirimu menghubungiku beberapa waktu sejak sore itu, mungkin hitungan bulan, mungkin juga hitungan minggu, aku lupa. Aku hanya tertawa ringan dan tak serius menanggapinya. Ah, isenglah pikirku.

Aku tak pernah tahu kapan tepatnya akhirnya kita jadi berteman. Hingga kita menjadi cukup saling mengenal, menghabiskan sore bersama, sharing, hang out, ngopi, ngobrol. Tetapi tetap saja buat aku dirimu biasa-biasa saja. Walaupun beberapa kali dirimu menyatakan kerinduanmu padaku, kamu ingin menyenangkan aku dengan mengajak liburan bersama, tak jua aku tanggapi. Aku berlalu, melewatkan uluran tiket Bali, Malaysia... ahh. Semanis apapun kata-katamu, sebaik apapun dirimu, telponmu, smsmu, semua sapaanmu aku tanggapi dengan dingin. Biasa. Datar. 

Mungkin aku terlalu sombong, cuek dan masabodoh padamu, dan mungkin itu yang akhirnya membuatmu diam saja ketika dirimu berkunjung ke kota tempat aku tinggal. Namun, ketika Tuhan menghendaki terjadinya sebuah pertemuan, aku maupun dirimu takkan bisa menghindarinya. Bukan suatu kebetulan bila akhirnya aku tahu dirimu ada disini. Berarti Tuhan memang berkehendak kita bertemu hari itu. Dan entah apa yang menggerakkan pikiranku saat itu, aku mengambil handphone disaat aku sedang sibuk dengan angka-angka di laptopku. Aku lupa apa tepatnya yang aku katakan saat itu, yang pasti aku protes karena dirimu datang ke kota ini dan tak memberi kabar tentang kedatanganmu, "aku gak sukkkaaa!!" kataku. Dengan kalem kamu menjawab, memang gak memberi kabar karena biasanya aku sibuk. "Aku culik yaa.., kita makan diluar aja" kataku..

Dan sore itupun kita habiskan dengan secangkir kopi hitam kental dan kepulan asap rokokmu, seperti biasanya, seperti dulu. Tak ada yang berubah denganmu, kamu masih seperti dulu, mengulang-ulang cerita  tentang pertemuan kita pertama kali di sore yang mendung itu. Obrolan kita seperti biasa seru, dari ujung jalan dirimu kujemput hingga ujung jalan dirimu kuantarkan kembali. Ya, kamu tetap sama, tapi, aku yang berubah. Aku tak tahu kenapa, mungkin saat ini hatiku sudah melunak, meski aku tak menampakkannya di depanmu. 

Entah apa ini, mungkin simpati, mungkin kesadaran yang lain, aku tak tahu apa tepatnya, yang pasti beberapa  saat semenjak pertemuan itu aku memikirkan tentang dirimu, dan aku baru sadar, ternyata dirimu memperhatikan aku selama ini, dan aku yang terlalu masa bodoh. Tiba-tiba aku disergap rasa kehilangan moment-moment saat kita bersama-sama...Terselip sesal. Maafkan aku.