Kosong, sunyi, seperti hatinya saat ini. Dibukanya pintu depan, tak terkunci, diambilnya satu kursi dibawanya ke dekat jendela depan. Ditatapnya langit yang ditaburi bintang gemintang, gemerlap, namun sunyi, seperti hidupnya, selalu berada diantara keramaian namun kesunyian adalah penghuni hatinya.
Lelaki itu tahu, perempuannya tak pernah bisa menerima alasan-alasan yang dia kemukakan saat dia harus pergi. Kemarahan dan kepedihan telah terjalin sedemikian dalam di hati perempuannya, dan lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa, selain hanya memohon maaf dan memohon pada Gusti akan keinginan hatinya yang sebenarnya. "Aku tak mungkin memilih, semua serba gelap untukku, aku harus membahagiakan banyak orang dan mengorbankan kebahagiaanku sendiri." itu alibi yang selalu dia kemukakan pada perempuannya, dan dia tahu, dia membawa perempuannya hancur bersama keputusannya. Kini, kata-kata tak pernah ada yang cukup untuk menggambarkan penyesalannya. Kebenaran perasaan akhirnya tak kuasa dibendungnya. Lelaki itu tak pernah menjawab sejuta tanya dan lontaran kekecewaan perempuannya. "Kebenaran perasaanku memilih kebisuan sebagai jalan termudah untuk menyampaikan makna bagi hatiku yang penuh cinta untukmu, perempuanku"
Ingatannya kembali kepada saat awal pertama kali berjumpa, lalu mengenalnya selama bertahun-tahun, dan dia tahu perpisahan akan tiba, namun lelaki itu sangat yakin bahwa perpisahan takkan sanggup memisahkan cinta mereka. Lelaki itu beranjak dari kursinya menuju meja di beranda depan, dituliskannya sebuah pesan, "Maafkan aku, kekasihku, karena aku berbicara padamu dalam orang kedua. Karena kau adalah diriku yang lain, cantik. Kaulah belahan jiwa, yang tak aku miliki sejak aku dilahirkan di dunia. Maafkan aku kekasihku. Aku tak kuasa atas hidupku sendiri hingga menyakitimu sedemikian hebatnya, namun akan kutebus semua, aku pinta selalu dirimu pada Sang Maha Kuasa untuk bisa berada disisiku melengkapi hidupku, biarlah kuasaNYA yang mengatur pertemuan kita."
Dimatikan rokok terakhirnya, dan segera meninggalkan kesunyian Rumah Kayu menuju kota dengan penuh harapan atas terjawabnya semua doa-doanya.
@inspired by : The Miracle of Love by Kahlil Gibran
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus