Minggu, 05 Februari 2012

Selembar Pesan dalam Kebisuan Malam

Suara kendaraan bermotor memecah kesunyian malam, membelah hutan sepanjang jalan setapak menuju Rumah Kayu. Tak butuh waktu lama, di halaman depan dia berhenti, seorang lelaki,  turun dari kendaraannya. Disulutnya sebatang rokok, sekedar untuk membunuh gelisahnya. sekilas nampak gurat kegalauan di wajahnya, namun hanya sekilas, karena wajahnya segera tenggelam ditelan gulita malam. pelan-pelan dia melangkah, beruntung semburat cahaya rembulan masih bisa menerobos rerimbunan dedaunan, cukup untuk menuntun langkahnya menuju beranda depan Rumah Kayu. Ada pelita menyala berkelip-kelip, secercah harap, mudah-mudahan pemilik pelita itu masih ada didalam sana. Segera diketuknya pintu depan seraya mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum", "Kulonuwun...", tak ada jawaban, kembali hanya ada kesunyian dan suara burung malam. Sebenarnya dia tahu, bila dia kesini agak siang tadi, dia pasti menemukan pemilik pelita itu, namun lelaki itu ragu pada dirinya sendiri apakah ia memiliki cukup kekuatan untuk bertemu setelah apa yang dia lakukan pada perempuannnya. Mungkin bila bertemu, sejuta makian dan sumpah serapah akan dia terima sebagai balasan setimpat terhadap apa yang dia lakukan. Namun seiring malam menjelang, keinginan untuk bertemu itu semakin kuat, dan semakin kuat. Tak berfikir lagi, lelaki itu segera bergegas kesini, walaupun sekedar untuk melihat jejak kehadiran perempuannya. 

Kosong, sunyi, seperti hatinya saat ini. Dibukanya pintu depan, tak terkunci, diambilnya satu kursi dibawanya ke dekat jendela depan. Ditatapnya langit yang ditaburi bintang gemintang, gemerlap, namun sunyi, seperti hidupnya, selalu berada diantara keramaian namun kesunyian adalah penghuni hatinya. 

Lelaki itu tahu, perempuannya tak pernah bisa menerima alasan-alasan yang dia kemukakan saat dia harus pergi. Kemarahan dan kepedihan telah terjalin sedemikian dalam di hati perempuannya, dan lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa, selain hanya memohon maaf dan memohon pada Gusti akan keinginan hatinya yang sebenarnya. "Aku tak mungkin memilih, semua serba gelap untukku, aku harus membahagiakan banyak orang dan mengorbankan kebahagiaanku sendiri." itu alibi yang selalu dia kemukakan pada perempuannya, dan dia tahu, dia membawa perempuannya hancur bersama keputusannya. Kini, kata-kata tak pernah ada yang cukup untuk menggambarkan penyesalannya. Kebenaran perasaan akhirnya tak kuasa dibendungnya. Lelaki itu tak pernah menjawab sejuta tanya dan lontaran kekecewaan perempuannya. "Kebenaran perasaanku memilih kebisuan sebagai jalan termudah untuk menyampaikan makna bagi hatiku yang penuh cinta untukmu, perempuanku"

Ingatannya kembali kepada saat awal pertama kali berjumpa, lalu mengenalnya selama bertahun-tahun, dan dia tahu perpisahan akan tiba, namun lelaki itu sangat yakin bahwa perpisahan takkan sanggup memisahkan cinta mereka. Lelaki itu beranjak dari kursinya menuju meja di beranda depan, dituliskannya sebuah pesan, "Maafkan aku, kekasihku, karena aku berbicara padamu dalam orang kedua. Karena kau adalah diriku yang lain, cantik. Kaulah belahan jiwa, yang tak aku miliki sejak aku dilahirkan di dunia. Maafkan aku kekasihku. Aku tak kuasa atas hidupku sendiri hingga menyakitimu sedemikian hebatnya, namun akan kutebus semua, aku pinta selalu dirimu pada Sang Maha Kuasa untuk bisa berada disisiku melengkapi hidupku, biarlah kuasaNYA yang mengatur pertemuan kita."  

Dimatikan rokok terakhirnya, dan segera meninggalkan kesunyian Rumah Kayu menuju kota dengan penuh harapan atas terjawabnya semua doa-doanya.

@inspired by : The Miracle of Love by Kahlil Gibran

1 komentar: