Jumat, 26 Desember 2014

Kopi Senja di Ujung Tangga

Masih sunyi, saat sang Guru menyapa pagiku, Tuhan, indah sekali kadomu hari ini.

Terimakasih Tuhan, ENGKAU Maha Tahu, hari ini aku tak menginginkan kemeriahan pesta di dinding-dinding waktu, sunyi memang, namun dengan cara-Mu yang sangat indah kau memberikan sebuah hadiah yang sangat bermakna. 

Belum selesai syukur pertamaku, kecupan pagi dan ucapan penuh cinta dari anak-anakku segera terbungkus rapi menjadi kado kedua di hari ini. Syukurku.

Semua mengalir begitu saja, dalam sunyi yang membahagiakan. Dan akhirnya akupun tak menduga, bila kado ketiga dari TUHAN masih ada. 

Kado ketiga terangkai dari ujung tangga, tatkala aneka cerita terangkai membingkai kisah-kisah kehidupan. Kerinduan yang terbungkus rapi tak terungkapkan. Cukuplah kata-kata dan cerita dibahasakan dengan penuh keanggunan rasa. Sembari menikmati secangkir kopi luwak tanpa gula ditemani seiris mandarin cake sebagai penanda peringatan hari istimewa. Karena keindahan rasa, bukanlah pada sebuah kemeriahan pesta, namun lebih dalam bermakna manakala dilahirkan dari sebuah ketulusan, tanpa keinginan. Karena semua semata kasih dan cinta. 

Berjeda sejenak, saat kumandang adzan bergema. Dan Tuhanpun memberikan keindahan berikutnya, waktu untuk menghadap pada-NYA. Basah air wudhu membasahi hingga ke dalam jiwa, aku siap menyatu dalam takbir, sujud dan serangkai do'a-do'a yang kuaminkan di dalamnya. Aku mendengar lagi, basmallah itu terucap darinya. Tuhan, indah sekali kado dari-MU hari ini

Hari ini, biarlah bijaksana, damai dan penuh cinta menjadi bagian dari jiwa, yang terus bertumbuh, subur dan berbuah manisnya kehidupan. 

Minggu, 14 Desember 2014

Pulau Ketujuh (1)

Menjelang senja, Garuda type bombardir dengan nomer penerbangan GA sekian sekian mendarat mulus di landasan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar. Pulau yang sebelumnya hanya aku dengar melalui mass media dan dari kenalan orang-orang Bugis. 

Gambaran pulau yang panas dan gersang seketika sirna. Nampaknya baru saja turun hujan, dan hamparan tanah yang kulihat lumayan hijau, tak banyak rumah penduduk yang terlihat dari atas tadi, setidaknya rumah-rumah tak sepadat di Bali, Yogya, Surabaya apalagi Jakarta. 

Dari dalam mobil jemputan, terlihat pepohonan di sekitar Bandara yang terpelihara dengan baik, sejuk. Sambil mengobrol dengan teman-teman dari Makassar, kami menuju ke hotel tempat saya menginap. Sengaja, saya meminta untuk stay di hotel di sekitar Pantai Losari. Rasanya saya sudah sangat merindukan alam. Karena tinggal di kota metropolitan sebesar Surabaya cukup untuk membuat saya merasa agak kehilangan akan keindahan hutan, danau, gunung dan pantai serta laut yang sebelumnya menjadi bagian rutinitas setiap weekend di Bali. 

Losari, pantai yang membentang disepanjang bibir kota Makassar, ternyata juga berbeda dari bayangan. Harapan bertemu pasir pantai dan lidah lidah ombak tak bisa ditemui disini, pantainya ditembok beton dan sepanjang pantai tak ada ombak menari. Namun setidaknya, ada lautan yang menghampar, saya bersyukur karena tak harus menginap di hotel yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan. 
Bagi saya, alam jauh lebih memberikan keindahan yang tak berbalut kepalsuan. Alam memberikan cinta dan keindahan yang tak terbeli oleh lembar-lembar rupiah.

Menghabiskan waktu tiga hari di kota Makassar terasa sangat singkat, jadwal mengajar full time sehingga hanya senja pertama itulah yang sempat meredakan kerinduan akan alam. Namun itu tak mengurangi rasa syukur karena akhirnya Sulawesi menjadi pulau ketujuh yang pernah saya singgahi dalam hidup saya. Dan keindahan Indonesia terekam erat di setiap pulau-pulau yang pernah saya singgahi. Indah, hijau, biru, ramah tamah..

Terimakasih Makassar dan semua jiwa yang ada disana, salam cinta untuk kalian semua..