Sabtu, 28 April 2012

The Old T-Shirt - an Encrypted Message - (Kisah Kaos Kutung)

"Kaos ini aku beli di Bandung, waktu aku masih bekerja di perusahaan yang dulu" "Mungkin sudah lebih dari 7 tahun yang lalu". Aku pegangi kaos itu, sudah lusuh, warnanya pudar dimakan waktu, sepasang lengannya sudah dibuntungi. "Biarin, pokoknya mau aku bawa".  Dua hari menjelang keberangkatanku, aku memutuskan membawa kaos itu. 

Aku mengepak barang-barang di koper, bersiap berangkat. kaos kutung itu ikut denganku, aku selipkan di koper, di tumpukan paling bawah, karena aku nggak mau kaos ini ketinggalan. Selama transit di kota lain selama beberapa hari, kaos itu diam menghuni tempat paling aman. Hingga seminggu kemudian, aku sampai di tempat tujuan.
Sesampai di tempat aku menetap, aku bongkar koperku, aku tersenyum memandang kaos kutung itu," hm, kamu tidak tertinggal.."

Di kamar kaos selalu nampak, kadang-kadang aku gantung, kadang-kadang aku pakai, kadang-kadang aku biarkan terserak, dan kadang-kadang aku lempar ke sudut kamar bila aku kesal. Namun akhir-akhir ini, berminggu-minggu, kaos kutung itu kubiarkan tergeletak. Aku begitu sibuk hingga tak pernah tidur di kamarku sendiri. 

Tapi malam ini panas sekali, kaos-kaos yang lain entah kemana, tinggallah kaos itu. Aku pakai, aromanya khas karena memang tak pernah kucuci sama sekali semenjak kubawa dulu. Yang penting gak bau apek.
Sambil duduk ditemani segelas kopi kupandangi kaos ini, buntung, sengaja di buntungi, tidak indah sama sekali,  tapi aku menyukainya. Seperti hidup ini, tak sempurna, tapi aku bahagia.


Jumat, 06 April 2012

Candidasa, Suatu Sore Tentangmu


Waktuku tinggal setengah jam untuk berkemas, tapi tak juga aku beranjak dari lantaiku yang dingin. Badanku masih terasa meriang, mungkin tumpukan rasa lelah,  over exhausted katamu. Entah apa artinya. Sebenarnya, kalau bukan karena nama pantai itu yang begitu menggelitik memanggil-manggil jiwaku, mungkin aku memilih membatalkan janji kita hari ini. Pengen tidur saja. Kuambil sebutir pain killer dan sebotol vitamin C, mudah-mudahan bisa mendongkrak staminaku hari ini. Harus berangkat kesana. Harus.
Aku tidak tahu pasti kenapa aku sangat ingin kesana. Mungkin berawal dari 25 tahun yang lalu, ketika masih seusia anakku, membaca di sebuah majalah cerpen pinjaman dari Miming tanteku, entah apa judulnya, ceritanyapun aku sudah tak ingat lagi. Hanya nama Candidasa itu begitu kuat melekat di otakku, entah kenapa. Aku harus kesana. 

Ketika waktu menunjukkan tengah hari, kami berangkat. Melewati beberapa banjar yang tengah sibuk mempersiapkan sebuah upacara, aku baru teringat, hari ini purnama, umat Hindu mempersiapkan berbagai macam upacara sembahyang. Melewati para ibu yang menyunggi berbagai macam sesaji, bapak-bapak terlihat juga sibuk, ada yang menuntun babi, mungkin akan disembelih untuk membuat babi guling yang khas disini. (hehehe, babi sepertinya gak disembelih ya..)

Agenda agak di ubah, karena masih terlalu siang, kami ke obyek wisata lain dulu. Baru sekitar jam lima sore, kami parkir di pinggir Pantai Candidasa. Tak banyak pengunjung, tak ada bule disini, good! kataku. Ini pantaiku.

"Akhirnya aku disini!!". Pantai yang hidup dalam benakku berpuluh tahun lamanya ada di depan mataku. Bukan pantai pasir putih seperti kebanyakan pantai yang dijadikan obyek wisata, bukan pula tempat wisata andalan yang dipenuhi tourist, sekilas sangatlah biasa saja. Bergegas aku berjalan,menuju bibir pantai. Duduk di sebongkah batu disini dan menghamparkan pandanganku ke ceruk pantai sebelah timur, ada dua tempat semacam gubuk , lalu lebih ke timur lagi ada dua tiga gugusan batu karang, menambah keindahan Candidasa di mataku, semua penjuru terasa harmonis,  kokoh, indah, sepi dan damai. Aku  jatuh cinta pada pantai ini. 

Candidasa, begitu kuat perasaan ini terikat pada pantai ini, satu romantisme menyelusup ke sela-sela hatiku, aku tak tahu sebabnya, mungkin suatu saat nanti aku akan tahu. Yang jelas akan ada satu kisah yang aku pahatkan di bongkahan batu-batu pantai. Tunggu aku Candidasa, aku akan datang lagi dengan kisah indahku.