Minggu, 12 Juni 2016

P u l a n g

"Masalah-masalah yang datang membuat keruh kehidupan. Kau hanya perlu hening, dan membiarkan segalanya mengendap dalam Kuasa-NYA lalu cahaya-NYA akan hadir menuntunmu dan cinta-NYA akan memelukmu dalam kedamaian."

Menjelang senja, aku pulang ke rumah kayu. Dengan tubuh setengah baya yang tertatih menopang kehidupan, namun semangat ini membuat jiwaku terasa muda, tak ubahnya bertahun-tahun silam. Namun aku merasakan ada beda, beda yang membuatku tersenyum saat menatap tahun-tahun silam. Tahun-tahun saat aku merasa masih muda, dan memutuskan meninggalkan rumah kayu tua ini untuk mengejar asa, mencari cinta. Kutinggalkan perih dan lara di setiap jengkal pekarangan dan jalan setapak menuju rumah ini, kuarungi samudera, dengan harap melupakan semua dan menyembuhkan luka jiwa. Ah, aku yang dulu memang sangat lugu.

Jadilah aku seorang pejalan yang mencari kedamaian nun ke ujung cakrawala. Tanpa lelah, kutelusuri daratan dan lautan. Bertemu dengan ketakutan, kecemasan, keangkuhan, dan aneka rupa wajah kehidupan. Luka itu masih kubawa kemanapun langkahku berada.  Sejauh itu, tak jua tersembuhkan. 

Kadang aku tepekur, meratapi luka-luka sambil bertanya-tanya, kenapa tak sembuh jua. Mereka bilang, waktu akan menyembuhkannya, tapi mengapa ini tak kunjung sembuh jua. Kemana lagi aku kan bisa menemukan cinta untuk menyembuhkan luka ini? Lihatlah, setiap kali kulihat, kembali memerah, mengapa aku harus mengalaminya? apa salahku? 

Sang bijaksana tersenyum memandangku, 
"Saat kau masih membencinya, maka kau masih mengikat luka itu dalam jiwamu, kau sendiri yang menolak cinta datang dengan memelihara luka itu dalam jiwamu," 
"Bagaimana aku tak membencinya, sedangkan dia telah berlaku semena-mena, mengkhianati, membuat  masa depanku hancur binasa". 
"Kau memandang bukan dengan mata jiwamu, kau memandang segala yang terjadi dengan mata yang tertutupi oleh kebencian, semua nampak buruk, semua nampak salah dimatamu. Lantas apakah kau juga akan menyalahkan Tuhan-mu atas semua yang terjadi padamu ?"
Aku terduduk, tepekur, tenagaku habis, aku hanya kuat berbisik, "Tuhan tak adil padaku, aku lelah, tolong aku."
Dia kembali tersenyum, "Semua yang terjadi adalah bagian dari takdir, kau tak bisa menyalahkan DIA yang menciptakan takdirmu. Takdirmu tertulis sesuai dengan kelayakan jiwamu. Bila kau masih menolaknya maka jiwamu akan terus terpuruk. Terimalah takdirmu, maka kau akan melihat hikmah dibalik segala yang kau alami, dengan lukamu, maka kau menjadi berjalan untuk terus mencari jawaban atas kehidupanmu, Andaikan kau tak terluka, mungkin pengetahuanmu takkan bertambah, jiwamu tak bertumbuh, cakrawala pandanganmu hanya seputar sungai di depan matamu, kau tak pernah melihat lautan karena kau hanya akan diam di tempatmu semula."
Aku terdiam, lalu, "Baiklah, kau benar."
Lalu Sang bijaksana memberikan sebuah kunci rahasia. Aku bertanya, "apakah ini ? bagaimana aku bisa menggunakannya ?" 
"Duduklah dalam hening, bersyukurlah hari ini kau memahami satu rahasia alam semesta, sadari dirimu sebagai jiwa dan berterimakasihlah kepada dia Sang Jiwa Penuntun kehidupan yang telah menunjukkan padamu jalan menuju Tuhanmu, satukan getaran jiwamu dengannya, karena hanya dengan getaran jiwa yang sama dengannya, maka kau akan mampu merasakan getaran Sang Maha Pencipta, biarkan cahaya-NYA, cinta-NYA dan kuasa-NYA memasuki alam jiwamu, biarkan membasuh segala luka, terimalah takdir jiwamu, maafkan semua yang telah membuatmu terluka, maafkan mereka, merekapun hanya menjalani takdirnya. Begitupun dirimu, tak luput dari kesalahan-kesalahan, karena kau manusia biasa, maka mintalah maaf pada semua yang telah kau lukai. Biarkan damai bersama mereka dan lepaskan mereka dari genggaman hatimu."

Sang bijaksana kembali berkata, "Sekarang kau telah terbebas dari semua, selanjutnya adalah pilihanmu untuk kembali menggenggam masalalumu atau mengepakkan sayapmu menuju masa depan dengan penuh kebahagiaan."
Airmataku mengucur deras, satu kelegaan yang luar biasa, Tuhan, maafkan aku, selama ini aku mengira KAU tak adil padaku, aku mengira KAU yang menganiaya aku, ternyata, aku sendiri yang menganiaya diriku, dengan merasa aku adalah istimewa, aku merasa harus dihargai, aku merasa aku harus mendapatkan yang terbaik, aku lupa, aku makhlukMU, Engkau berkuasa atas takdirku, Engkau memilihkan jalan yang mendewasakan jiwaku, Engkau sedang mendidikku, namun aku tak mampu melihat. Maafkan Aku. 

Sang bijaksana tersenyum melihatku, "Bila kau menginginkan kedamaian dalam hidup, sadarilah hal-hal yang mengikat dirimu, yang membuatmu menderita, lalu lepaskanlah, Jadilah orang yang membebaskan diri dari segala sesuatu dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan."
"Pada akhirnya, kita dapat mengetahui bahwa kita telah mendapat banyak pelajaran dari masalah yang kita hadapi. Dengan belajar menghadapi masalah, berarti kita berproses untuk pendewasaan jiwa kita."

Tahun-tahun telah berlalu, aku telah kembali, dan menatap masalalu apa adanya, biarkan dia pada tempatnya dan mensyukurinya, karena setiap jengkalnya adalah pembelajaran bagiku. Pembelajaran itulah yang membuatku bertumbuh. Rumah kayu ini begitu indah. Dan aku sadar, cinta itu tak perlu kucari kemana-mana, karena dia ada di dalam rumah kita, rumah jiwa kita.

"Tugasmu sebenarnya bukan mencari cinta, tetapi mencari dan menemukan tembok-tembok dalam dirimu yang engkau bangun untuk menghalangi cinta, " (Rumi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar